Mukmin dan Kafir


Iman dan Kafir adalah dua keyakinan yang saling bertolak belakang. Seseorang dikatakan beriman bila ia menerima bahwa hanya Allah satu-satunya yang berhak disembah dan diibadahi, serta menerima bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah utusan Allah. Sedangkan yang menolak itu semua, maka mereka digolongkan ke dalam orang kafir.
Kata "kafir" adalah istilah yang hanya dimiliki oleh Agama Islam dan telah menjadi istilah syar'i yang diabadikan dalam al-Quran.

Pengertian Iman
Dalam keyakinan yang benar, yaitu keyakinan Ahlu Sunnah wal Jamaah yang disandarkan kepada pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat, iman itu tidak cukup keyakinan dalam hati saja, tetapi harus diucapkan dan dibuktikan dalam perbuatan.

Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah perkataan di lisan, keyakinan dalam hati, amalan dengan anggota badan, iman dapat bertambah dengan melakukan ketaatan dan dapat berkurang karena maksiat.
Hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الإِيمَانُ بِضۡعٌ وَسَبۡعُونَ أَوۡ بِضۡعٌ وَسِتُّونَ شُعۡبَةً فَأَفۡضَلُهَا قَوۡلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدۡنَاهَا إِمَاطَةُ الۡأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالۡحَيَاءُ شُعۡبَةٌ مِنَ الۡإِيمَانِ . – رواه البخاري ومسلم

“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘Laa Ilaaha Illallah’, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan cabang dari iman.” (Shahih Al-Bukhari no. 8 dan Shahih Muslim No. 35).

Dalil yang menunjukkan keyakinan Ahlu Sunnah adalah hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan di atas bahwa iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan lisan dan amalan dengan anggota badan. Perkataan ‘Laa Ilaaha Illallah’ menunjukkan bahwa iman harus dengan ucapan di lisan. Menyingkirkan duri dari jalanan menunjukkan bahwa iman harus dengan amalan anggota badan. Sedangkan sifat malu menunjukkan bahwa iman harus dengan keyakinan dalam hati, karena sifat malu itu di hati. Sehingga iman yang benar adalah jika terdapat ketiga komponen tersebut.

Secara jelas keyakinan Ahlu Sunnah mengenai iman termaktub dalam perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, di mana beliau berkata,

فَصۡلٌ : وَمِنۡ أُصُولِ أَهۡلِ السُّنَّةِ وَالۡجَمَاعَةِ أَنَّ الدِّينَ وَالۡإِيمَانَ قَوۡلٌ وَعَمَلٌ ، قَوۡلُ الۡقَلۡبِ وَاللِّسَانِ ، وَعَمَلُ الۡقَلۡبِ وَاللِّسَانِ وَالۡجَوَارِحِ ، وَأَنَّ الۡإِيمَانَ يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ وَيَنۡقُصُ بِالۡمَعۡصِيَةِ .

“Fasal: Di antara pokok akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah, bahwa agama dan iman terdiri dari perkataan dan amalan, perkataan hati dan lisan, amalan hati, lisan dan anggota badan. Dan sesungguhnya iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena maksiat.”

Imam al-Ajurri berkata, “Sesungguhnya pendapat ulama kaum muslimin ialah bahwa iman wajib atas seluruh makhluk; yaitu membenarkan dengan hati, menetapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan.” (Kitabus-Syari’ah II/611).

Imam Al-Bukhari juga berkata dalam awal kitab sahihnya,

وهو قول وفعل يزيد وينقص
“Iman itu perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang.” Sampai perkataan beliau,

والحب في الله والبغض في الله من الإيمان
“Cinta karena Allah dan benci karena Allah adalah bagian dari iman.” (Shahih Al-Bukhari dalam Kitab Al-Iman).

Ibnu ‘Abdil Barr berkata dalam kitabnya At-Tamhid, “Iman menurut ulama Ahlu Sunnah -di mana mereka adalah Ahlul Atsar dari ulama fiqh dan hadits-, mereka telah sepakat, iman itu perkataan dan perbuatan dan tidak ada amalan kecuali dengan niat. Iman menurut Ahlu Sunnah bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena maksiat. Segala ketaatan termasuk bagian dari iman”. (Lihat At-Tamhid 9: 238 dan Fathul Baari 1: 47).

Ibnu Katsir berkata, “Iman menurut pengertian syar’i tidaklah bisa terwujud kecuali dengan adanya keyakinan, perkataan dan perbuatan. Demikian definisi yang disampaikan oleh kebanyakan ulama. Bahkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal serta Abu ‘Ubaid juga ulama lainnya sepakat bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Baqarah [2]: 3).

Imam Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah berkata, “Para sahabat dan tabi’in serta ulama Ahlu Sunnah sesudahnya sepakat bahwa amalan termasuk bagian dari iman. Mereka berkata bahwa iman adalah perkataan, perbuatan dan akidah (keyakinan).” (Syarhu Sunnah 1/38).

Tidak ada pendapat ulama Ahlu Sunnah yang menyelisihi pendapat-pendapat di atas.

Keimanan Seorang Pelaku Dosa Besar
Pada dasarnya, seorang mukmin yang melakukan kemaksiatan yang tidak sampai derajat kekafiran tetap dianggap sebagai orang mukmin. Inilah madzhab Ahlu Sunnah wal Jamaah. Para pelaku maksiat dan dosa tetap dianggap sebagai saudara seiman. Sebagai contoh, perhatikan ayat berikut:

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الۡمُؤۡمِنِينَ اقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدٰىهُمَا عَلَى الۡأُخۡرٰى فَقٰتِلُواْ الَّتِي تَبۡغِي حَتّٰى تَفِيٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ اللَّهِۚ فَإِن فَآءَتۡ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَا بِالۡعَدۡلِ وَأَقۡسِطُوٓاْۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الۡمُقۡسِطِينَ . إِنَّمَا الۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَاتَّقُواْ اللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ .

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat [49]: 9-10).

Peperangan adalah perbuatan yang dilarang jika terjadi di antara sesama mukmin. Namun dalam ayat ini Allah menyifati dua kelompok yang berperang dengan predikat mukmin. Allah juga memberitakan bahwa mereka adalah saudara, dan persaudaraan tidaklah terwujud kecuali antara sesama mukmin, bukan antara mukmin dan kafir.

Madzhab Ahlu Sunnah dalam menyikapi pelaku maksiat adalah tidak mengkafirkannya, namun juga tidak memutlakkan keimanan pada diri mereka sendiri. Oleh karena itu kita katakan sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Mereka (orang-orang fasik) adalah mukmin dengan keimanan  yang kurang (tidak sempurna), atau bisa juga dikatakan mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan dosa besarnya. Mereka tidak mendapat predikat iman secara mutlak, tidak pula hilang keimanan (secara total) dengan dosa besarnya.” (Matan al-‘Aqidah al-Wasithiyah).

Beberapa Keyakinan Lain dalam Masalah Iman
Bagi penganut paham Murji’ah: Iman adalah keyakinan dalam hati dan ucapan di lisan saja. Bagi penganut paham Karamiyah: Iman adalah ucapan di lisan saja. Sementara bagi penganut paham Jabariyyah: Iman adalah pengenalan dalam hati saja.

Sedangkan bagi penganut paham Mu’tazilah: Iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan lisan dan amalan anggota badan. Namun ada sisi yang membedakan antara Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah. Paham Mu’tazilah menganggap bahwa pelaku dosa besar akan menghilangkan iman secara total dan akan kekal di neraka. Sedangkan bagi Ahlu Sunnah, pelaku dosa besar masih memiliki iman, akan tetapi ia dikatakan kurang imannya dan tidak kekal dalam neraka jika memasukinya. Silahkan lihat pembahasan lebih lanjut dalam postingan kami tentang Penetapan Syafaat.

Islam, Iman dan Ihsan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya tentang perbedaan Islam dan Iman. Beliau menjawab bahwa dalam pengertian secara umum, Islam adalah menghambakan diri kepada Allah dengan cara menjalankan ibadah-ibadah yang disyariatkan sebagaimana yang dibawa oleh para Rasul.

Sedangkan dalam pengertian secara khusus, yaitu setelah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Islam adalah ajaran yang dibawa oleh beliau. Karena ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam me-nasakh (menghapus) seluruh ajaran yang dibawa para Rasul sebelumnya, maka orang yang mengikuti ajaran Islam menjadi seorang muslim.

Orang-orang Yahudi adalah orang muslim pada masa Nabi Musa ‘alaihissalam, demikian pula orang Nasrani yang dulunya adalah muslim di masa Nabi Isa ‘alaihissalam. Namun ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus, mereka mengingkarinya (mengkufuri), sehingga hal itu menjadikan mereka tidak lagi muslim.

Jika Islam berarti menghambakan diri hanya kepada Allah dengan menjalankan syariat-Nya, maka itu termasuk pasrah dan tunduk secara zahir maupun batin. Maka ia mencakup seluruh aspek, di antaranya akidah, amal perkataan dan perbuatan.

Namun jika kata Islam disandingkan dengan iman, maka Islam berarti amal perbuatan yang zahir, sedangkan iman adalah amalan batin yang berupa akidah dan amalan hati. Perbedaan istilah ini dapat dilihat dalam firman Allah berikut,

قَالَتِ الۡأَعۡرَابُ ءَامَنَّاۖ قُل لَّمۡ تُؤۡمِنُواْ وَلٰكِن قُولُوٓاْ أَسۡلَمۡنَا وَلَمَّا يَدۡخُلِ الۡإِيمٰنُ فِي قُلُوبِكُمۡۖ ...

Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk (Islam)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu...” (QS. Al-Hujurat [49]: 14).
فَأَخۡرَجۡنَا مَن كَانَ فِيهَا مِنَ الۡمُؤۡمِنِينَ . فَمَا وَجَدۡنَا فِيهَا غَيۡرَ بَيۡتٖ مِّنَ الۡمُسۡلِمِينَ .

“Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang yang berserah diri.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 35-36).

Di sini terlihat perbedaan antara mukmin dan muslim. Rumah yang berada di negeri itu zahirnya adalah rumah yang Islami, namun ternyata di dalamnya terdapat istri Luth yang menghianatinya dengan kekufurannya. Adapun mereka yang keluar dari negeri itu dan selamat, maka mereka itulah kaum beriman yang sebenarnya, karena keimanan telah benar-benar masuk ke dalam hati mereka.

Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Islam secara mutlak adalah mencakup seluruh aspek agama, termasuk iman. Namun jika Islam disandingkan dengan iman, maka Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan zahir, sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan batin.
(Fatawa Anil Iman wa Arkaniha, di susun oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud, edisi Indonesia Soal-Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Pustaka At-Tibyan. Lihat pula Majmu’ Fatawa dan Rasail Ibnu Utsaimin 1/47-49.)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Istri Nabi Luth ‘alaihissalam adalah orang munafik dan kafir dalam hatinya, namun secara zahir, ia adalah orang muslim bersama suaminya; maka ia tertimpa azab bersama kaumnya. Demikianlah keadaan kaum munafik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berserah diri sepenuhnya secara zahir, padahal mereka sebenarnya tidak beriman.” (Jami’ Al-Masa`il 6/221).

Dengan ini, maka iman lebih tinggi derajatnya daripada Islam, setiap mukmin pasti muslim, namun tidak sebaliknya. (Majmu’ Fatawa dan Rasail Ibnu Utsaimin 4/92).

Ada sebuah hadits shahih yang menjelaskan tentang apa itu Islam, Iman dan Ihsan. Hadits ini menceritakan kunjungan malaikat Jibril kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tengah berkumpul dengan para sahabat.

وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخۡبِرۡنِي عَنِ اۡلإِسۡلَامِ، فَقَالَ رَسُوۡلُ اللهِ ﷺ: اَلۡإِسِلَامُ أَنۡ تَشۡهَدَ أَنۡ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوۡلُ اللهِ وَتُقِيۡمَ الصَّلَاةَ وَتُؤۡتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُوۡمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الۡبَيۡتَ إِنِ اسۡتَطَعۡتَ إِلَيۡهِ سَبِيۡلًا قَالَ: صَدَقۡتَ، فَعَجِبۡنَا لَهُ يَسۡأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخۡبِرۡنِي عَنِ الۡإِيۡمَانِ قَالَ: أَنۡ تُؤۡمِنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالۡيَوۡمِ الۡآخِرِ وَتُؤۡمِنَ بِالۡقَدَرِ خَيۡرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقۡتَ، قَالَ فَأَخۡبِرۡنِي عَنِ الۡإِحۡسَانِ، قَالَ: أَنۡ تَعۡبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنۡ لَـمۡ تَكُنۡ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . – رواه مسلم

“Orang itu berkata, “Ya Muhammad, beritahukan padaku tentang Islam?”, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menjawab: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu“, kemudian dia berkata, “Engkau benar“. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan padaku tentang Iman“. Lalu beliau bersabda, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“, kemudian dia berkata, “Engkau benar“. Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan padaku tentang ihsan“. Lalu beliau bersabda, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu”. (H.R. Muslim No. 8).

Syaikh Al-Utsaimin mengatakan bahwa dalam penggalan hadits ini terdapat dalil bahwa Islam, Iman dan Ihsan semuanya diberi nama ad-Din (agama). (Lihat Ta’liq Syarh Al-Arba’in hlm. 23).

Syaikh Shalih Al-Fauzan menyebutkan bahwa para ulama muhaqqiq (peneliti) menyatakan bahwa setiap orang mukmin pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman, maka keimanan akan tertanam kuat dalam hatinya, sehingga sudah pasti ia akan mengerjakan amalan-amalan zahir.

Dan belum tentu setiap muslim adalah mukmin. Karena bisa jadi imannya sangat lemah, sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun ia mengerjakan amalan-amalan zahir. Sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mukmin dengan keimanan yang sempurna.

Dengan demikian jelaslah bahwa agama ini memiliki tingkatan-tingkatan, di mana satu tingkatan lebih tinggi dari yang lain. Tingkatan pertama adalah Islam, kemudian di atasnya ada Iman dan yang di atas Iman adalah Ihsan. (Syaikh Shalih Al-Fauzan, At-Tauhid li Shaffil Awwal Al-‘Ali hlm. 64).

Selain tingkatan Islam, Iman dan Ihsan, ada pula tingkatan tertinggi dan paling mulia, yaitu Taqwa. Hal ini didasari firman Allah berikut,

... إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ اللَّهِ أَتۡقٰىكُمۡۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ .

“... Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Pengertian Kafir
Secara bahasa, kata “kafir” berasal dari bahasa Arab yang berasal dari kata “al-kufru” ( الكُفۡرُ ) yang berarti “menutupi” “menghalangi”, “menyembunyikan”, “menolak” atau “mengingkari”. Kata kerjanya adalah كَفَرَ – يَكۡفُرُ, pelakunya disebut “kaafir” ( كَافِرٌ ). Sedangkan lawannya adalah “as-syukru” ( الشُّكۡرُ ) atau “syakara” ( شَكَرَ ) yang artinya “membuka” atau “menerima”.

Bahkan kata “kafir” dan “syukur” beberapa kali muncul bersanding dalam al-Quran sebagai bentuk perlawanan makna.

فَاذۡكُرُوۡنِيٓ أَذۡكُرۡكُمۡ وَاشۡكُرُوۡا لِيۡ وَلَا تَكۡفُرُوۡنِ ١٥٢

"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku." (QS. Al-Baqarah [2]: 152).

Lihat pula QS. Ibrahim [14]: 7, QS. An-Naml [27]: 40, QS. Az-Zumar [39]: 7 dan QS. Al-Insan [76]: 3.

Kata “kafir” merupakan istilah yang umum dan sudah sering digunakan oleh bangsa Arab bahkan sebelum mereka mengenal Islam. Allah sendiri menyebut petani dengan istilah al-kuffar ( الكُفَّارُ ) :

... كَمَثَلِ غَيۡثٍ أَعۡجَبَ الۡكُفَّارَ نَبَاتُهُ ... سورة الحديد

“... Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani...” (QS. Al-Hadid [57]: 20).

Dalam literatur bahasa Arab, petani disebut kuffar karena mereka menanam benih dengan cara menutupinya dengan tanah.

Karena ini merupakan istilah yang umum di tengah masyarakat Arab, maka tidak ada satu orang pun dari mereka yang merasa terhina ketika mereka disebut sebagai orang kafir oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Setelah syariat Islam datang, istilah “kafir” memiliki makna yang baru, yaitu untuk menyebut keadaan seseorang yang menolak ajaran Islam. Saat itu pula turun firman Allah QS. Al-Kafirun [109] yang secara khusus menggambarkan ketegasan sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap orang-orang kafir tersebut.

Dengan demikian, istilah “kafir” menjadi istilah spesifik yang melekat dalam syariat Islam dan diabadikan dalam al-Quran. Bahkan kata “kafir” tidak akan ditemukan dalam kitab suci agama lain.

Jika sebelumnya kata “kafir” secara umum hanya berlawanan dengan kata “syakara”, sekarang kata “kafir” juga berlawanan dengan kata “iman”. Karena makna kafir dalam hal ini adalah kafir aqidah. Sehingga yang dimaksud dengan orang kafir adalah orang-orang yang menolak ajaran Islam tidak mau beriman kepada Allah dan menolak kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

هُوَ الَّذِيۡ خَلَقَكُمۡ فَمِنۡكُمۡ كَافِرٞ وَّمِنۡكُم مُّؤۡمِنٞۚ وَّاللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ بَصِيۡرٌ ٢

"Dialah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. At-Taghabun [64]: 2).

Tingkatan Kekafiran
Para ulama telah menjelaskan bahwa ada dua jenis kekafiran, yaitu kafir akbar (kafir besar) dan kafir ashghar (kafir kecil). Ibnu Qayyim berkata:

فَأَمَّا الۡكُفۡرُ فَنَوۡعَانِ: كُفۡرٌ أَكۡبَرُ وَكُفۡرٌ أَصۡغَرُ. فَالۡكَفۡرُ الۡأَكۡبَرُ هُوَ الۡمُوجِبُ لِلۡخُلُودِ فِي النَّارِ. وَالۡأَصۡغَرُ مُوجِبٌ لِاسۡتِحۡقَاقِ الۡوَعِيدِ دُونَ الۡخُلُودِ .

"Adapun kekafiran itu ada dua macam, kafir akbar dan kafir ashghar. Kafir akbar adalah kekafiran yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka. Sedangkan kafir ashghar menyebabkan pelakunya diancam dengan neraka, namun tidak kekal di dalamnya." (Madarijus Salikin, 1/344).

1. Kafir Akbar (Kafir Besar)

Kafir akbar adalah kekafiran yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam dan membatalkan keimanannya, baik dengan perbuatan maupun ucapan. Contoh pelaku kafir akbar adalah seseorang yang murtad, keluar dari agama Islam. Jika pelakunya tidak bertaubat, maka pemerintah kaum muslimin (ulil amri) berhak menjatuhkan hukuman mati.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنۡ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقۡتُلُوهُ . – رواه البخاري

“Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah ia.” (Shahih Al-Bukhari No. 3017).

Kafir akbar juga dapat terbagi dua, berdasarkan ada atau tidaknya ijma’ para ulama dalam hal tersebut:

  1. Kekafiran yang telah disepakati sebagai kafir akbar: mencaci dan menghina Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam;
  2. Kekafiran yang masih diperselisihkan apakah termasuk kafir akbar atau tidak, seperti: sengaja meninggalkan shalat, zakat, puasa Ramadhan tanpa udzur syar’i, meskipun pelakunya mengetahui kewajibannya.

2. Kafir Ashghar (Kafir Kecil)

Kafir ashghar adalah semua bentuk perbuatan maksiat yang pelakunya disebut kafir menurut syariat, namun tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam.

Hukum kafir ashghar tetap haram, dan meskipun disebut kafir kecil, hal ini tetap termasuk ke dalam dosa besar. Berikut adalah lima bentuk kafir ashghar:

2.1 Kafir nikmat

Yaitu tidak mengakui nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya, begitu pula mengingkari kebaikan orang lain. Allah telah berfirman,

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ ٧

“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.” (QS. Ibrahim [14]: 7).

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَأُرِيتُ النَّارَ فَلَمۡ أَرَ مَنۡظَرًا كَاليَوۡمِ قَطُّ أَفۡظَعَ وَرَأَيۡتُ أَكۡثَرَ أَهۡلِهَا النِّسَاءَ . قَالُوا بِـمَ يَا رَسُولَ الله ؟ قَالَ بِكُفۡرِهِنَّ . قِيلَ يَكۡفُرۡنَ بِاللهِ ؟

“Diperlihatkan kepadaku neraka, dan aku tidak pernah melihat pemandangan yang lebih mengerikan daripada hari itu. Aku melihat mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, apa sebabnya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Karena kekafirannya.” Para sahabat bertanya lagi, “Apakah kafir terhadap Allah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

يَكۡفُرۡنَ العَشِيرَ، وَيَكۡفُرۡنَ الإِحۡسَانَ، لَوۡ أَحۡسَنۡتَ إِلَى إِحۡدَاهُنَّ الدَّهۡرَ كُلَّهُ، ثُمَّ رَأَتۡ مِنۡكَ شَيۡئًا، قَالَتۡ: مَا رَأَيۡتُ مِنۡكَ خَيۡرًا قَطُّ . – رواه البخاري ومسلم

“Mereka mengkufuri (kebaikan) suami dan mereka mengkufuri kebaikan (orang lain). Jika Engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka selama bertahun-tahun, kemudian mereka melihat sesuatu (satu kesalahan) darimu, maka mereka berkata, ‘Aku tidak pernah melihat satu kebaikan pun darimu sama sekali’.” (Shahih Al-Bukhari No. 1052 dan Muslim No. 907).

2.2 Memerangi sesama muslim karena permusuhan

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سِبَابُ الـمُسۡلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفۡرٌ . – رواه البخاري ومسلم

“Mencela orang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran.” (Shahih Al-Bukhari No. 48 dan Muslim No. 64).

Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda saat Haji Wada’,

لَا تَرۡجِعُوا بَعۡدِي كُفَّارًا يَضۡرِبُ بَعۡضُكُمۡ رِقَابَ بَعۡضٍ . – رواه البخاري ومسلم

“Janganlah kalian kembali kafir sepeninggalku, yaitu sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lainnya (berperang).” (Shahih Al-Bukhari No. 6868 dan Muslim No. 65).

Peperangan yang dimaksud adalah peperangan karena permusuhan atas sebab unsur duniawi. Namun jika peperangan terjadi antara penguasa dengan pemberontak, atau antara petugas keamanan dengan perampok, maka tidak termasuk ke dalam kekafiran.

2.3 Mencela nasab orang lain dan meratapi mayit

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اِثۡنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بـِهِمۡ كُفۡرٌ: الطَّعۡنُ فِي النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الۡمَيِّتِ . – رواه مسلم

“Ada dua perbuatan yang dua-duanya adalah kekafiran: mencela nasab dan meratapi mayit.” (Shahih Muslim No. 67).

Mencela nasab adalah mencela seseorang dan mengaitkannya dengan ayahnya atau ibunya, sedangkan mereka tidak ada kaitannya dengan perbuatan sang anak. Ini merupakan perbuatan jahiliyah.

Sedangkan niyahah (meratapi mayit) adalah menangis secara berlebihan bahkan hingga menjerit-jerit atau merobek-robek pakaian. Banyak hadits-hadits shahih yang melarang perbuatan niyahah ini karena juga termasuk perbuatan jahiliyah.

2.4 Seorang budak yang kabur dari majikannya

Dari Jarir radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَيُّمَا عَبۡدٍ أَبَقَ مِنۡ مَوَالِيهِ فَقَدۡ كَفَرَ حَتَّى يَرۡجِعَ إِلَيۡهِمۡ . – رواه مسلم

“Setiap budak yang kabur dari tuannya, maka dia telah kafir hingga ia kembali kepada tuannya.” (Shahih Muslim No. 68).

2.5 Seseorang yang menasabkan dirinya kepada selain ayahnya

Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيۡسَ مِنۡ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيۡرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعۡلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ . – رواه البخاري ومسلم

“Tidak ada seorang laki-laki pun yang mengaku-ngaku seorang ayah padahal bukan ayahnya dan dia mengetahui, kecuali dia telah berbuat kekafiran.” (Shahih Al-Bukhari No. 3508 dan Muslim No. 61).

Jangan Asal Mengkafirkan
Dalam Islam, penggunaan kata “kafir” tidak sembarangan dan asal-asalan, melainkan ada ketentuan dan kaidahnya. Maka tidak dibenarkan bila seseorang memberikan vonis kafir kepada sesama muslim.

Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَرۡمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالفُسُوقِ، وَلَا يَرۡمِيهِ بِالكُفۡرِ، إِلَّا ارۡتَدَّتۡ عَلَيۡهِ، إِنۡ لَمۡ يَكُنۡ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ .

“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan sebutan fasiq atau kafir, kecuali tuduhan tersebut akan kembali kepada dirinya jika orang tersebut tidak seperti yang dia tuduhkan.” (Shahih Al-Bukhari No. 6045).

أَيُّمَا امۡرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدۡ بَاءَ بِـهَا أَحَدُهُمَا، إِنۡ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتۡ عَلَيۡهِ . – مُتَّفَقٌ عَلَيۡهِ وَفِي رِوَايَةِ مُسۡلِمٍ إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ .

“Barang siapa yang berkata kepada saudaranya (seagama): “Wahai kafir”, maka pengkafiran ini akan kembali kepada salah satu dari keduanya, jika dia benar kafir (maka tidak mengapa), namun jika tidak, maka ucapan itu akan kembali kepada dirinya sendiri.” (H.R. Al-Bukhari No. 6104 dan dalam riwayat Muslim No. 111 “Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya yang muslim…”).

Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa istilah kafir hanya untuk orang-orang di luar Islam. Namun bukan berarti kata “kafir” dapat digunakan sebagai panggilan. Ingatlah bahwa:

لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَال
“Setiap tempat ada ucapan yang layak.”
Maka meskipun ada seseorang yang diyakini sebagai orang kafir, maka tetap tidak layak jika dipanggil misalnya dengan kalimat: “Hai kafir” dan semisalnya.

Salah satu contoh orang kafir disebutkan dalam ayat berikut,

لَقَدۡ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الۡمَسِيحُ ابۡنُ مَرۡيَمَۖ ... ٧٢

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam”. (QS. Al-Maidah [5]: 72).

Al-Qadhi ‘Iyadh menjelaskan,

ولهذا نكفِّر كل من دان بغير ملة المسلمين من الملل أو وقف فيهم أو شك أو صحَّح مذهبهم .

“Oleh karena itu, kita mengkafirkan semua orang yang beragama selain agama kaum muslimin, atau orang yang sejalan dengan mereka, atau orang yang ragu-ragu (dengan agama), atau yang membenarkan agama mereka.” (Asy-Syifa Bita’rif Huquqil Musthafa 2/1071).

Allah juga berfirman,

قُلۡ يٰٓأَيُّهَا الۡكٰفِرُونَ ١ لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ ٢ وَلَآ أَنتُمۡ عٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٣ وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٞ مَّا عَبَدتُّمۡ ٤ وَلَآ أَنتُمۡ عٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٥ لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ ٦

“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.” (QS. Al-Kafirun [109]: 1-6).

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ الۡكِتٰبِ وَالۡمُشۡرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خٰلِدِينَ فِيهَآۚ أُوْلٰٓئِكَ هُمۡ شَرُّ الۡبَرِيَّةِ ٦

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 6).

Ahli kitab yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. (Tafsir Ibnu Katsir).

Dalil-dalil tersebut sudah sangat jelas bahwa orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya pantas disebut “kafir”, hanya saja penyebutan ini harus sesuai dengan keadaan yang layak.

Wallahu A’lam...
* * *

Post a Comment

0 Comments