Binasalah Orang-orang yang Berlebihan


Sikap untuk meninggalkan berlebihan adalah faktor terpenting bagi tercapainya persatuan dan keakraban sesama Muslim. Sikap berlebih-lebihan akan mengakibatkan kehancuran sebagaimana disebutkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada para sahabatnya. Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan", tiga kali Rasulullah menyebutkan hadits ini, baik sebagai berita tentang kehancuran mereka ataupun sebagai do'a untuk kehancuran mereka. (Diriwayatkan oleh Muslim (2670)).

Orang-orang yang berlebih-lebihan ini, seperti dikatakan oleh Imam An-Nawawi, ialah orang-orang yang ucapan dan perbuatan mereka terlalu dalam dan melampaui batas. (Syarhun-Nawawi ‘ala Muslim, 5/525, terbitan Asy-Sya'b, Kairo).

Ibnu al-Atsir berkata: "Mereka adalah orang-orang yang omongannya terlalu jauh dan melampaui batas. Orang-orang yang berbicara dengan ujung tenggorokannya". Asal kata natha' (berlebih-lebihan) berarti bagian atas dari mulut, kemudian kata ini dipakai untuk setiap ucapan dan perbuatan yang terlalu jauh dan mendalam. Diantaranya adalah hadits Umar radhiallahu 'anhu:
"Kalian akan tetap baik selama kalian menyegerakan berbuka (puasa) dan tidak berlebih-lebihan dalam berbicara seperti cara bicara orang-orang Irak."

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu: "Jauhkanlah dirimu dari berlebih-lebihan (tanaththu’) dan perpecahan". Yakni berlebih-lebihan dalam membaca berbagai macam qira'at. (An-Nihayah, Ibnul Atsir, 5/74, terbitan Isa Al-Halabi, Tahqiq Ath Thanahi).

Ulama yang lain mengatakan: "Yang dimaksud orang-orang yang berlebih-lebihan ialah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam ibadah mereka sehingga keluar dari tatacara syari'at dan mengikuti bisikan keraguan setan".

Dikatakan: "Mereka adalah orang-orang yang terlalu dalam menayakan masalah-masalah pelik yang jarang terjadinya. Diantaranya terlalu banyak menyebutkan cabang-cabang suatu permasalahan yang tidak ada dasarnya di dalam al-Qur`an ataupun as-Sunnah. Permasalahnnya sebenarnya jarang terjadi, tetapi terlalu banyak perhatian yang diberikan kepadanya.
Lebih parah lagi dari itu ialah membahas masalah-masalah tertentu yang kita diperintahkan syari’at untuk mengimaninya tanpa mencari 'bagaimana'-nya. Diantaranya membahas sesuatu yang tidak punya bukti di dunia empirik, seperti pertanyaan tentang hakikat hari kiamat, hakikat ruh dan lain sebagainya."

Ulama yang lain berkata: "Contoh berlebih-lebihan ialah memperbanyak pertanyaan sehingga orang yang ditanya memberikan jawaban "tidak boleh" setelah sebelumnya memfatwakan "boleh". (Faidhul Qadir, 6/355).

Kesemuanya ini termasuk "kesusahan" yang telah dijauhkan Allah dari Din Islam. Islam adalah Din yang didasarkan pada prinsip "memudahkan bukan menyulitkan dan memberikan kabar gembira bukan membuat orang lari".

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu:
"Jauhkanlah diri kamu dari berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum kamu hancur hanya sebab berlebih-lebihan dalam agama". (Diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa`i, Ibnu Majjah, Al-Hakim, Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas sebagaimana di dalam Shahih Jami' (2680)).

Sikap berlebih-lebihan dalam agama ini akan mendorong tumbuhnya sikap memperketat masalah-masalah kecil dan bersempit dada kepada setiap orang yang berbeda pendapat. Sebaliknya, sikap toleran dan tidak mempersulit adalah termasuk faktor tumbuhnya persatuan dan keakraban.

Semangat inilah yang menjadikan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dapat mentolerir perbedaan-perbedaan dalam masalah juz'iah dan tidak bersempit dada terhadap pendapat yang berbeda.

Bahkan mereka mengingkari orang-orang yang kesibukannya hanya mencari-cari masalah (perbedaann furu'). Mereka tidak bersedia menanggapi setiap pertanyaan yang tidak akan melahirkan kecuali kesulitan dan keketatan.

Al-Qur`an sendiri mengingatkan akan prinsip ini di dalam salah satu ayatnya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur’an sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun". (QS. Al-Maidah [5]: 101).

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga melarang banyak bertanya yang akan mengakibatkan kesulitan dan keberatan atas kaum muslimin.

"Orang Muslim yang paling besar kesalahannya ialah seseorang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan kemudian karena pertanyaannya sesuatu itu menjadi diharamkan". (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-I'tisham dan Muslim dalam Al-Fadha'il dari Sa'd bin Abi Waqash, lihat kitab Al-Lu`lu`u wal Marjan (1521)).

"Janganlah engkau tanyakan kepadaku sesuatu yang aku biarkan untuk kamu, karena orang-orang sebelum kamu hancur hanya karena banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka dengan para Nabi mereka. Apabila aku melarang kamu dari sesuatu maka jauhilah dia dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kamu maka lakukanlah semaksimal mungkin; dan jika aku mencegah kamu dari sesuatu maka tinggalkanlah dia". (Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa`i dan Ibnu Majjah dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu. Lihat kitab Al-Lu`lu`u wal Marjan (846) dan Shahihul Jami' (3430)).

Hadits ini mengisyaratkan tentang Bani Israil dalam kisah penyembelihan lembu dan pertanyaan mereka berlebih-lebihan: "Bagaimana bentuknya?, bagaimana warnanya?, bagaimana….?" (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 67-71). Seandainya mereka langsung menyembelih lembu yang mana saja setelah perintah yang pertama, niscaya sudah cukup. Tetapi mereka mempersulit diri, maka Allah pun mempersulit mereka.

Anas radhiallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah ditanya oleh para sahabat dengan pertanyaan yang bertubi-tubi sampai membuat Rasulullah marah. Kemudian beliau naik mimbar seraya bersabda: "Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu kepadaku pada hari ini kecuali apa yang telah aku jelaskan kepada kalian". Anas radhiallahu 'anhu berkata: Kemudian aku layangkan pandangan ke kanan dan ke kiri tiba-tiba setiap orang mengusap mukanya dengan pakaiannya karena menangis… Kemudian Umar radhiallahu 'anhu bangkit seraya berkata: "Kami telah ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai Din, dan Muhammad sebagai Rasul. Kami berlindung kepada Allah dari fitnah". (Muttafaq ‘alaih, Al-Lu`lu`u wal Marjan (1523)).

Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi para sahabat sehingga setelah itu mereka tidak mau bertanya kecuali hal-hal yang memang perlu ditanyakan. Hal ini tampak dari pertanyaan-pertanyaan mereka kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang dicatat oleh al-Qur`an, tidak lebih dari tigabelas pertanyaan yang sebagian besar berkenaan dengan masalah-masalah praktis (terapan).

Demikian pula jawaban mereka terhadap setiap pertanyaan yang diajukan. Mereka selalu memberikan jawaban yang memudahkan tidak menyulitkan, memberikan kabar gembira tidak membuat orang lari, sebagaimana wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada mereka.

Prinsip umum yang dianut oleh para sahabat ialah tashil (memudahkan) dan musamahah (toleransi) dalam masalah furu'iyah. Mereka menghindari kajian-kajian yang terlalu njlimet (rumit) dan terlalu mendalam, sehingga tidak membuat kemudahan menjadi kesulitan, dan kelapangan menjadi kesempitan. Padahal Allah telah meniadakan hal itu dari Din-Nya: "Dan tidaklah Dia menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam agama". (QS. Al-Hajj [22]: 78).

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Yusuf bin Mahik, ia berkata: “Pada waktu aku berada di sisi Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu 'anha datanglah seorang Irak kepadanya kemudian bertanya: "Kain kafan apakah yang paling baik?". Aisyah radhiallahu 'anha menjawab: "Ada apa denganmu sampai bertanya begitu?". Orang itu berkata: "Wahai Ummul Mukminin, perlihatkanlah mushafmu kepadaku". Aisyah berkata: "Kenapa?". Orang itu berkata: "Agar aku membaca al-Qur’an sesuai dengannya karena ia dibaca tidak tertib". Aisyah berkata: "Apa salahnya dengan bacaanmu terdahulu?". (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (4993). Lihat Fathul Baari, 9/38-39).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqalani di dalam Fathul Baari berkata: "Barangkali orang Irak ini pernah mendengar hadits Samurah yang Marfu' (bersambung sanad-nya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam): "Pakailah pakaian putih dan pakailah ia untuk mengkafankan mayat-mayat kalian karena lebih bersih dan baik". Hadits ini dishahihkan oleh At-Tirmidzi dan diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.

Kemungkinan orang Irak tersebut pernah mendengar hadits ini kemudian ingin memeriksa kebenarannya dari Aisyah radhiallahu 'anha. Karena penduduk Irak terkenal dengan banyak bertanya, maka Aisyah berkata kepadanya: "Ada apa denganmu?", maknanya dengan kain kafan apa saja sudah cukup. Dalam pada itu perkataan Ibnu Umar kepada orang yang bertanya kepadanya tentang darah nyamuk sudah sangat masyhur. Ia berkata: "Perhatikanlah penduduk Irak, mereka bertanya tentang darah nyamuk padahal mereka pernah membunuh cucu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam”. (Fathul Baari, 9/39).

Mengapa ia meminta mushaf Ummul Mukminin untuk dijadikan pedoman bacaannya? Tampaknya ia bertanya tentang tertib surat, karena mushafnya tidak tersusun sesuai tertib Mushaf Utsmani, tetapi tersusun sesuai Mushaf Ibnu Mas'ud. Sebab antara tertib Mushaf Utsmani dengan tertib Mushaf Ibnu mas'ud tidak sama.
Sekalipun demikian, Aisyah radhiallahu 'anha dalam hal ini tidak memandang sebagai masalah besar bahkan ia berkata: "Apa salahnya dengan bacaanmu terdahulu?".

Al-'Allamah Ad-Dahlawi di dalam kitabnya Hujjatullahil Balighah menjelaskan kemudahan dan kesederhanaan para sahabat dalam memahami dan mengamalkan Islam ini. Katanya: “Rasulullah  melakukan wudhu' dengan disaksikan oleh para sahabat, kemudian para sahabat mengikutinya tanpa dijelaskan bahwa ini rukunn dan itu sunnah. Rasulullah shalat dengan disaksikan oleh para sahabat kemudian mereka mengikuti cara shalat sebagaimana yang mereka lihat. Rasulullah melaksanakan haji kemudian mereka pun melaksanakan haji sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Demikian hampir seluruh amaliah Rasulullah. Beliau tidak menjelaskan bahwa fardhu wudhu ada enam atau empat. Juga tidak mengandaikan adanya orang yang berwudhu secara tidak tertib sehingga dinyatakan sah atau batal. Demikian pula para sahabat. Jarang sekali mereka bertanya tentang hal-hal semacam ini."

Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu, ia berkata: "Aku tidak melihat suatu kaum yang lebih baik dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka tidak pernah bertanya kepadanya kecuali tentang tigabelas masalah hingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam wafat. Ketigabelas masalah itu semuanya tersebut di dalam al-Qur`an, di antaranya: "Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…". (QS. Al-Baqarah [2]: 217). Ibnu Abbas berkata: "Mereka tidak pernah bertanya kepadanya kecuali tentang sesuatu yang bermanfaat bagi mereka".

Ibnu Umar radhiallahu 'anhu berkata: "Janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang tidak terjadi, karena aku pernah mendengar Umar bin Khatab melaknati orang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak terjadi".

Al-Qasim berkata: "Sesungguhnya kalian bertanya tentang sesuatu yang tidak kami ketahui dan mengkaji terlalu mendalam hal-hal yang tidak pernah kami kaji. Kalian bertanya tentang banyak hal yang tidak aku ketahui. Seandainya telah diajarkan kepada kami tentang hal-hal itu pasti kami tidak boleh menyembunyikannya".

Dari Umar bin Ishaq, ia berkata: "Aku tidak melihat suatu kaum yang lebih mudah dan gamblang sirahnya daripada para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam".

Dari Ubaidah bin Yasar al-Kindi, ia ditanya tentang seorang wanita yang meninggal di tengah suatu kaum yang tidak mempunyai wali (pemimpin), lalu ia menjawab: "Aku belum pernah melihat suatu kaum yang menyulitkan diri seperti kalian dan bertanya seperti pertanyaan kalian". Atsar-atsar ini diriwayatkan oleh ad-Darimi. (Hujjatullahi al-Balighah, 1/140, 141).

________________________
Sumber: Dr. Yusuf al-Qardhawy, GERAKAN ISLAM Antara Perbedaan yang Dibolehkan dan Perpecahan yang Dilarang (FIQHUL IKHTILAF), 1997

Post a Comment

0 Comments