Mengenal Ribath


Kata "ribath" berasal dari kata "rabatha"رَبَطَ ), "rabithah"رَبِطَة ) atau "murabathah"مُرَابَطَة ) yang artinya "mengikat", "mengukuhkan" atau "meneguhkan". Istilah ribath pada awalnya adalah merujuk kepada sikap siap siaga dari pasukan tentara Islam dengan senjata lengkap yang berjaga di wilayah perbatasan atau daerah yang rawan dimasuki musuh yang ingin menyerang umat Islam. Ribath dalam pengertian ini bersifat fisik dan hukumnya fardhu kifayah, hanya wajib dilakukan oleh sekelompok umat Islam saja. Dalil keutamaan ribath dalam pengertian ini adalah hadits berikut.

Dari Sahl bin Sa'ad As-Sa'idi radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

رِبَاطُ يَوۡمٍ فِي سَبِيلِ اللهِ خَيۡرٌ مِنَ الدُّنۡيَا وَمَا عَلَيۡهَا . – رواه البخاري

"Ribath satu hari di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan apa pun yang ada di atasnya." (Shahih Al-Bukhari: 2892).

Dari Salman bin Al-Islam radhiallahu 'anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

رِبَاطُ يَوۡمٍ وَلَيۡلَةٍ خَيۡرٌ مِن صِيَامِ شَهۡرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنۡ مَاتَ جَرَى عَلَيۡهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعۡمَلُهُ وَأُجۡرِيَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُ وَأَمِنَ الۡفَتَّانَ . – رواه مسلم

"Ribath sehari semalam lebih baik daripada puasa dan shalat malam sebulan penuh. Jika ia meninggal maka amalnya akan terus mengalir sebagaimana yang pernah ia amalkan, rizkinya juga terus mengalir dan terbebas dari fitnah-firnah." (Shahih Muslim: 1913).

Dalam pengertian yang lain, ribath juga bersifat kejiwaan. Ribath dalam pengertian ini memiliki tiga bentuk, yaitu:
  1. Usaha untuk menjaga diri supaya tidak terjerumus ke dalam perbuatan dosa,
  2. Usaha untuk 'memaksa diri' dalam mengerjakan amal-amal shalih dan membiasakannya terus menerus,
  3. Usaha untuk meraih kesempurnaan dalam ibadah meskipun terasa berat.

Istilah ribath juga terdapat dalam firman Allah berikut:

وَرَبَطۡنَا عَلٰى قُلُوۡبِهِمۡ إِذۡ قَامُوۡا فَقَالُوۡا رَبُّنَا رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالۡأَرۡضِ لَن نَّدۡعُوَا مِنۡ دُونِهِۦٓ إِلٰهٗاۖ لَّقَدۡ قُلۡنَآ إِذٗا شَطَطًا ١٤

"Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, "Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran"." (QS. Al-Kahfi [18]: 14).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Allah menjadikan mereka (para pemuda Ashabul Kahfi) dapat bertahan dalam menentang kaumnya dan seluruh penduduk kota yang sesat. Allah juga menjadikan mereka bersabar dan rela meninggalkan kehidupan yang mewah bergelimang kenikmatan.

Sebagaimana yang dikisahkan dalam banyak sumber, bahwa enam dari tujuh pemuda Ashabul Kahfi adalah dari kalangan bangsawan. Mereka adalah penasihat Raja Romawi bernama Diqyanus. Karena kesesatan dan kezaliman Diqyanus yang telah mengaku sebagai "Tuhan", maka keenam pemuda ini menguatkan hati mereka untuk pergi meninggalkan kerajaan itu.


Allah juga berfirman:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوۡا اصۡبِرُوۡا وَصَابِرُوۡا وَرَابِطُوۡا وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٢٠٠

"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung." (QS. Ali Imran [3]: 200).

Dalam ayat ini Allah menggandengkan ribath dengan kesabaran. Karena tanpa adanya kesabaran dan usaha untuk memperkuat kesabaran itu, maka ribath tidak akan tercapai.

Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat Hasan Al-Bashri yang mengatakan bahwa orang beriman diperintahkan untuk bersabar dalam menjalankan agama Islam. Jangan meninggalkannya baik dalam keadaan suka maupun duka, hingga akhirnya mereka mati tetap dalam keadaan Islam. Pendapat yang sama juga banyak dikemukakan oleh para ulama salaf.

Asbabun nuzul ayat ini disampaikan oleh Abu Hurairah radhiallahu 'anhu: "Ingatlah, sesungguhnya di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada peperangan yang memerlukan mereka bersiaga di perbatasan negerinya. Akan tetapi ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum yang meramaikan masjid-masjid, menunaikan shalat pada waktunya dan mereka berzikir kepada Allah di dalamnya." (Tafsir Ibnu Katsir). Hal ini juga diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim dalam kitab Mustadrak.

Dalil lain untuk ribath dalam pengertian ini adalah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

أَلَا أدُلُّكُمۡ عَلَى مَا يَمۡحُو اللهُ بِهِ الخَطَايَا وَيَرۡفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ؟ قَالُوا : بَلَى يا رَسُولَ اللهِ . قَالَ : إسۡبَاغُ الوُضُوءِ عَلَى الۡمَكَارِهِ وَكَثۡرَةُ الۡخُطَا إلَى الۡمَسَاجِدِ وَانۡتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعۡدَ الصَّلَاةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ فذَلِكُمُ الرِّبَاطُ . – رواه مسلم

"Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat?" Para sahabat menjawab, "Mau ya Rasulullah." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Menyempurnakan wudhu pada waktu yang tidak disukai, banyak melangkah ke masjid dan menunggu shalat setelah shalat. Itulah ribath, itulah ribath." (Shahih Muslim: 251).

Menurut Al-Qadhi 'Iyadh, bahwa terhapusnya kesalahan adalah terhapusnya dosa. Dapat pula dimaknai dihapusnya dosa-dosa dalam kitab catatan amal. Sedangkan makna meninggikan derajat adalah mengangkat derajatnya di surga.

Menyempurnakan wudhu pada waktu yang tidak disukai seperti ketika keadaan cuaca dingin, misalnya saat hendak shalat Shubuh. Ketika cuaca dingin, biasanya akan ada banyak sunnah-sunnah dalam wudhu yang ditinggalkan. Atau misalnya ketika tubuh sedang letih atau tidak fit, dan semisalnya. Namun jika seorang hamba tetap memaksakan diri dalam berwudhu demi meraih kesempurnaan wudhu dan demi keridhaan Allah, maka ia telah mengamalkan ribath.

Berjalan menuju masjid juga termasuk ribath. Bahkan setiap langkah kaki menuju masjid adalah sedekah di sisi Allah, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

وَكُلُّ خُطۡوَةٍ يَخۡطُوهَا إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ . – رواه البخاري ومسلم

"Setiap langkah menuju shalat adalah sedekah." (H.R. Al-Bukhari: 2989 dan Muslim: 1009).

Banyak melangkah ke masjid dapat juga dimaknai dengan memperbanyak langkah. Artinya menggunakan langkah yang kecil, sehingga walaupun jarak masjid itu dekat tetapi jumlah langkahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan langkah yang besar. Oleh sebab itu memang tidak dianjurkan untuk berlarian menuju masjid yang juga dapat mengakibatkan nafas terengah dan shalat menjadi tidak khusyu'.


Bersuci di rumah lebih afdhal daripada bersuci di masjid. Karena langkah ke masjid yang dapat menghapus dosa dan menaikkan derajat adalah ketika berjalan dalam keadaan telah berwudhu. Hal ini pun telah menjadi pemahaman jumhur ulama. Inilah sebabnya perintah menyempurnakan wudhu lebih dahulu disebutkan dalam hadits di atas.

Menunggu waktu shalat setelah shalat bukan berarti terus berdiam di masjid tanpa keluar selangkah pun. Namun maksudnya adalah hatinya senantiasa merindukan datangnya waktu shalat berikutnya karena rasa cinta dan kerinduannya kepada Allah 'Azza wa Jalla. Inilah orang yang hatinya selalu terpaut di masjid.

Menyempurnakan wudhu di waktu yang tidak disukai, memperbanyak langkah ke masjid dan menunggu waktu-waktu shalat adalah amalan-amalan yang berat karena tertahan oleh hawa nafsu. Maka ketika seorang hamba yang berusaha mengamalkan itu semua secara rutin, maka ia sama saja sedang berjuang melawan hawa nafsunya. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyamakan amalan ini dengan ribath yang pada dasarnya merupakan istilah di medan perang, karena melawan hawa nafsu bukanlah perkara yang ringan.

Wallahu A’lam...

Post a Comment

0 Comments