Pada pertengahan abad ke-20 M, muncul seorang ulama berpengaruh dari Mesir bernama Sayyid Sabiq. Ia dikenal sebagai tokoh internasional dalam bidang Fiqh dan Dakwah Islam, terutama melalui karya besarnya, Fiqh as-Sunnah.
Pada prinsipnya, Sayyid Sabiq adalah tokoh yang mengingkari tertutupnya pintu ijtihad. Dengan menulis Fiqh as-Sunnah, ia berharap dapat memberikan gambaran yang akurat tentang Fiqh Islam berdasarkan dalil-dalil yang shahih, menghilangkan fanatisme mazhab dan menolak pemikiran bahwa pintu ijtihad sudah tertutup.
Visinya yang unik untuk tidak harus mengikuti madzhab manapun tentu menarik perhatian mayoritas umat Islam di berbagai belahan dunia, terutama mereka yang beribadah dengan bermadzhab. Untuk jelasnya, berikut biografi singkat Sayyid Sabiq dan pandangannya tentang fanatisme.
Biografi Singkat Sayyid Sabiq
Nama lengkapnya adalah Sayyid Sabiq Muhammad at-Tihami. Lahir di desa Istanha, distrik al-Baghur, provinsi al-Munufiyah, Mesir pada tahun 1915 M. Beliau lahir dari keluarga terpandang, Sabiq Muhammad at-Tihami dan Husna Ali Azeb.
Beliau belajar di Universitas al-Azhar Kairo, dan di kampus inilah beliau menyelesaikan semua pendidikannya dari tingkat kejuruan (Takhashshush). Bahkan, pada tingkat terakhir, beliau meraih gelar as-Syahadah al-'Alimiyyah, gelar tertinggi Al-Azhar, setara dengan gelar doktor. Beliau telah memegang banyak posisi, termasuk sebagai anggota dewan dosen Universitas al-Azhar, Mesir dan Universitas Ummul Quro, Makkah.
Beliau juga seorang ulama yang produktif. Beliau telah meluncurkan beberapa karya selain Fiqh al-Sunnah, seperti al-Yahud fil-Qur'an, al-Aqa'id al-Islamiyyah, Islamuna, Da'wah al-Islam dan lain-lain.
Pandangan Sayyid Sabiq Tentang Bermadzhab
Sayyid Sabiq dianggap sebagai pribadi yang berkomitmen untuk tidak bermadzhab. Meski begitu, beliau tidak pernah mengkritisi mazhab fikih yang ada dan tidak mengingkari keberadaannya. Pandangannya tercermin dalam karyanya Fiqh as-Sunnah.
Dalam pengantar karyanya, beliau menguraikan alasan mengapa umat Islam sebaiknya tidak bermadzhab. Dalam mengemukakan alasannya, Sayyid Sabiq pertama-tama mengutip salah satu ayat al-Quran:
ذَٰلِكَ
بِأَنَّ ٱللَّهَ نَزَّلَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ ٱخۡتَلَفُواْ
فِي ٱلۡكِتَٰبِ لَفِي شِقَاقِۢ بَعِيدٖ
١٧٦
“Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Kitab (al-Quran) dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Kitab (al-Quran) itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).” (QS. Al-Baqarah [2]: 176)
Selain itu beliau juga menyebutkan bahwa pada zaman para sahabat dan tabi'in tidak pernah ada perselisihan dalam masalah agama kecuali beberapa saja yang menurutnya bisa dihitung. Alasannya karena kemampuan para sahabat dan tabi'in yang berbeda dalam memahami Al-Qur'an dan hadis, dan sebagian dari mereka terkadang mengetahui hal-hal yang tersembunyi dari sebagian yang lain.
Selanjutnya, Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa para imam Mazhab mengikuti sunnah (tradisi) dari pendahulunya. Beberapa imam madzhab lebih dekat dengan sunnah, misalnya orang-orang Hijaz yang banyak di antaranya adalah pengikut sunnah dan perawi hadits. Sementara sebagian lainnya lebih cenderung terhadap rasio, seperti masyarakat Irak, yang memiliki jumlah penghapal hadits yang sedikit.
Para Imam 4 Madzhab, berusaha sebaik mungkin untuk memperkenalkan Islam dan membimbing mereka dengan usaha mereka. Bahkan para Imam Madzhab melarang orang untuk taqlid (mengikuti mereka secara membabi buta tanpa mengetahui dalilnya). Mereka katakan:
لا يجوز لأحد أن يقول قولنا
من غير أن يعرف دليلنا
"Tidak boleh seorang pun mengikuti pendapat kami, tanpa mengetahui dalil (alasan) kami."
Para imam madzhab mengklaim bahwa madzhab mereka adalah hadis shahih karena mereka tidak mau diikuti begitu saja. Padahal, tujuan mereka hanyalah untuk membantu umat Islam memahami hukum-hukum Islam.
Namun, generasi yang muncul setelah Imam madhab itu menjadi kehilangan semangat, mentalnya drop dan tekadnya melemah. Sebaliknya, naluri untuk meniru dan ber-taqlid malah meningkat hingga masing-masing kelompok di antara mereka merasa puas hanya dengan satu madzhab tertentu yang kemudian mereka yakini dan berpegang padanya dengan fanatik.
Mereka berusaha sekuat tenaga untuk membela dan mempertahankannya, sementara pendapat sang imam sudah dianggap sebagai firman Tuhan dan mereka tidak berani mengeluarkan fatwa tentang suatu perkara jika bertentangan dengan kesimpulan atau fatwa imam mereka.
Keyakinan mereka kepada para Imam Madzhab begitu jelas dan berlebihan sehingga al-Karkhi bahkan berkata:
كل آية أو حديث يخالف ما
عليه أصحابنا فهو مؤول أو منسوخ
"Setiap ayat Qur’an maupun hadis yang menyalahi pendapat sahabat-sahabat kami, maka harus dita’wil atau dihapus."
Bermazhab Mendorong Berpikir Sempit
Dengan meniru secara taqlid dan fanatik terhadap madzhab, orang menjadi kehilangan kesempatan untuk mendapat petunjuk dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ada juga semboyan bahwa pintu ijtihad ditutup, sehingga syariat Islam adalah pendapat para fuqaha` (ahli fikih) dan pendapat fuqaha` itulah yang disebut dengan syariat, sedangkan yang menyalahi ucapan fuqaha` dianggap sebagai ahli bid'ah, hingga ucapannya tidak dapat dipercaya lagi dan fatwanya tidak dapat diterima lagi.
Salah satu faktor yang mendukung penyebaran semangat berpikir sempit ini adalah upaya para penguasa dan orang-orang kaya untuk mendirikan sekolah-sekolah yang pengajarannya terbatas pada satu atau beberapa madzhab tertentu. Inilah alasan untuk memusatkan perhatian pada madzhab-madzhab ini dan mengalihkan minat untuk melakukan ijtihad demi menjamin dan mempertahankan nafkah dan penghidupan mereka.
Belakangan Sayyid Sabiq meriwayatkan dialog antara Abu Zur'ah dengan gurunya al-Bulqini. “Apa yang menghalangi Syekh Taqiyuddin as-Subki dari berijtihad? Sementara syarat-syaratnya sudah cukup.” tanya Abu Zur'ah.
Al-Bulqini tidak menjawab, maka Abu Zur'ah berkata:
“Menurut pendapat saya, rasa enggan as-Subki untuk berijtihad adalah karena kedudukan yang telah ditetapkan di kalangan fuqaha` bahwa mereka mengikuti 4 mazhab, sedangkan yang keluar dari salah satu empat madzhab tidak berhak dan dilarang menjadi qadhi (hakim). Orang-orang tidak boleh mendengarkan fatwanya, bahkan ia akan dituduh sebagai ahli bid'ah.” Mendengar hal tersebut, al-Bulqini tersenyum dan setuju dengan pendapatnya.
Belakangan, Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa kaum muslimin tertimpa musibah dan terperosok ke dalam lubang Dhab (biawak gurun) seperti yang telah diperingatkan oleh Rasulullah karena umat Islam bersikap Taqlid dan tidak mendapat petunjuk dari al-Qur'an dan Sunnah serta berpegang pada semboyan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup.
Akibatnya, umat Islam terpecah belah. Bahkan, bid'ah menyebar, sunnah melemah, gerak pikiran melambat, pemikiran berhenti, dan kebebasan pengetahuan menjadi hilang. Suatu hal yang mengarah pada melemahnya kepribadian umat dan hilangnya kehidupan untuk berkarya, serta menghambat kemajuan dan perkembangan, sehingga pihak luar pun melihat celah dan lubang untuk menembus jantung Islam.
Terakhir, Sayyid Sabiq menegaskan bahwa dari waktu ke waktu selama bertahun-tahun dan abad-abad berikutnya, Allah akan membangkitkan di tengah umat Islam ini orang yang akan melakukan pembaharuan agama bagi umat Islam ini, membangunkan dari tidur panjang mereka dan membimbing mereka ke arah yang benar.
Baca juga: Munculnya Mujaddid Tiap Akhir 100 Tahun
Ini adalah pendapat Sayyid Sabiq tentang masalah madzhab. Dari pendapatnya kita mendapat kesan bahwa beliau adalah sosok yang selalu mengajak umat Islam untuk bersatu dan merapatkan barisan agar umat tidak melemah. Ia juga mengajak para pemuda untuk menjadi lebih kuat dengan membiasakan mereka beramal Islami, peka, memahami segala persoalan hidup serta memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Jadi, alasan mengapa Sayyid Sabiq menolak untuk bermadzhab semata-mata untuk menghindari sikap taqlid buta terhadap sosok tertentu, dalam hal ini para imam madzhab, meskipun Sayyid Sabiq juga tidak mengingkari hasil ijtihad mereka. Dari uraian ini dapat pula kita tarik benang merah bahwa jika kita ingin beribadah tanpa bermadzhab seperti pendapat Syaikh Sayyid Sabiq, maka:
Kita harus mengetahui landasan dalil dari setiap amal ibadah yang kita lakukan, bukan hanya sekedar ikut-ikutan.
Allahu A'lam bish-Shawab...
* * *
0 Comments