Banyak orang yang beranggapan bahwa apabila seseorang dilahirkan dari keluarga muslim, maka setelah sang anak dewasa harus mengikrarkan syahadatain di hadapan seorang saksi, misalnya guru, ustadz, syeikh, ulama atau semacamnya. Setidaknya ada tiga argumen yang menjadi dasar pemahaman tersebut, yaitu:
- Setiap bayi yang lahir adalah suci (fitrah) yang masih kosong dan bersih tanpa ada pengaruh (agama) apa pun. Maka orang tuanya yang akan menanamkan pengaruh, agama atau kepercayaan tertentu kepada sang anak.
- Tidak ada Islam keturunan. Jika orang tuanya beragama Islam, anaknya belum tentu menjadi seorang muslim, maka setelah baligh ia harus memilih agama apa yang ia kehendaki.
- Syahadat artinya kesaksian, maka harus diikrarkan dengan lisan dan harus ada yang menyaksikan.
Tulisan ini akan menjawab dan meluruskan ketiga argumen tersebut berdasarkan dalil al-Qur’an, hadits shahih dan pendapat para ulama.
Argumen pertama dan kedua akan kita bahas sekaligus karena keduanya saling berkaitan.
Setiap bayi yang lahir memang dalam keadaan fitrah dan sudah jelas belum ada doktrin, ideologi atau pengaruh apa pun dalam benaknya karena memang akalnya belum berfungsi. Namun jangan lupa bahwa ruh setiap bayi yang lahir sudah memiliki ikatan janji kepada Allah Sang Pencipta. Mari kita perhatikan firman Allah QS. Al-A’raf [7] ayat 172 berikut ini:
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ
بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ
أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلٰى شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ
يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هٰذَا غٰفِلِينَ ١٧٢
“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)”.” (QS. Al-A’raf [7]: 172).
Ayat ini mengisahkan secara singkat tentang peristiwa pengambilan janji oleh Allah terhadap setiap ruh keturunan nabi Adam ‘alaihissalam sebelum mereka dilahirkan ke dunia. Sebuah ikatan janji yang menyatakan bahwa Allah adalah Sang Rabb (pengatur) dan siap untuk diatur dengan aturan Allah. Bukankah ini juga yang menjadi esensi dari syahadatain? Bukankah orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat berarti mereka harus tunduk di bawah aturan Allah?
Oleh sebab itu, Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyimpulkan bahwa makna dari persaksian yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah fitrah yang ditanamkan ke dalam jiwa manusia menyangkut masalah tauhid kepada Allah.
Sampai di sini dapat pula disimpulkan bahwa setiap bayi yang lahir adalah beragama Islam. Didukung dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits shahih berikut:
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا ابۡنُ أَبِي
ذِئۡبٍ عَن الزُّهۡرِيِّ عَنۡ أَبِي سَلَمَةَ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمَنِ عَن أَبِي
هُرَيۡرَةَ I قال : قال النَّبِيُّ ﷺ كُلُّ مَوۡلُودٍ
يُولَدُ عَلَى الۡفِطۡرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوۡ يُنَصِّرَانِهِ أَوۡ
يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الۡبَهِيۡمَةِ تُنۡتَجُ الۡبَهِيمَةَ هَلۡ تَرَى فِيهَا
جَدۡعَاءَ – رواه البخاري
Telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dza`bi dari Az-Zuhri dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanya yang akan menjadikan anak itu sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagaimana hewan ternak yang melahirkan anaknya dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?” (H.R. Al-Bukhari No. 1296).
حَدَّثَنَا عَبۡدَانُ أَخۡبَرَنَا عَبۡدُ
اللهِ أَخۡبَرَنَا يُونُسُ عَن الزُّهۡرِيِّ قال أَخۡبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بۡنُ
عَبۡدِ الرَّحۡمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيۡرَةَ I قال : قال رسول الله ﷺ مَا مِنۡ مَوۡلُودٍ
إِلَّا يُولَدُ عَلَى الۡفِطۡرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوۡ يُنَصِّرَانِهِ
أَوۡ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنۡتَجُ الۡبَهِيمَةُ بَـهِيمَةً جَمۡعَاءَ هَلۡ
تُحِسُّونَ فِيهَا مِن جَدۡعَاءَ ثُمَّ يَقُولُ { فِطۡرَةَ اللّٰهِ
الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيۡهَا لَا تَبۡدِيۡلَ لِخَلۡقِ اللّٰهِ ذٰلِكَ الدِّينُ
الۡقَيِّمُ }
– رواه البخاري ومسلم
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdan telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Az-Zuhri dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanya yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagaimana hewan yang dilahirkan tanpa ada cacat. Maka apakah kalian merasakan (melihat) ada cacat padanya?" Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca firman Allah QS. Ar-Rum [30] ayat 30: “... tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah Din yang lurus...” (H.R. Al-Bukhari No. 4402 dan Muslim No. 2658).
Mari kita cermati kedua hadits di atas dengan teliti. Setidaknya ada dua penekanan dalam hadits tersebut. Pertama, Nabi bersabda bahwa setiap anak yang lahir adalah berada dalam keadaan Fitrah. Kedua, setelah sang anak tumbuh, maka orang tuanya (lingkungannya) yang berpotensi mengubah keadaan yang sebelumnya fitrah menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Al-Aswad bin Sari’ bahwa ia berkata, “Saya berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebanyak empat kali. Suatu ketika orang-orang menyerang rakyat sipil (wanita dan anak-anak) setelah membunuh tentara musuh. Ketika berita ini sampai ke Rasulullah, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Atas dasar apa suatu kaum membunuh para prajurit dan rakyat sipil (wanita dan anak-anak)?”
Lalu ada seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, bukankah mereka adalah anak dari orang musyrik?” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ خِيَارَكُمۡ أَبۡنَاءُ الۡمُشۡرِكِيۡنَ
إِنَّهَا لَيۡسَتۡ نَسَمَةٌ تُولَدُ إِلَّا وُلِدَتۡ عَلَى الۡفِطۡرَةِ فَمَا
تَزَالُ عَلَيۡهَا حَتَّى يُبِيۡنَ عَنۡهَا لِسَانُهَا فَأَبَوَاهَا
يُهَوِّدَانِهَا أَوۡ يُنَصِّرَانِهَا – رواه أحمد
“Sesungguhnya orang-orang yang terpilih di antara kalian pun adalah anak dari orang musyrik. Sesungguhnya tidak ada seorang anak pun yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah. Ia akan tetap dalam keadaan fitrah hingga lisannya dapat berbicara, lalu orang tuanya yang akan menjadikannya sebagai Yahudi atau Nasrani.” (H.R. Ahmad No. 15713. Riwayat serupa juga disampaikan oleh Ibnu Jarir dan An-Nasa`i. Hadits ini juga dinukil oleh Ibnu Katsir).
Peran orang tua adalah berusaha agar keadaan fitrah sang anak tetap terjaga hingga akhir hayatnya. Namun ternyata tidak semua orang tua dapat menjalankan peran tersebut. Nyatanya ada orang tua yang justru menggiring sang anak untuk keluar dan meninggalkan keadaan fitrah tersebut berpindah kepada keyakinan Yahudi, Nasrani atau Majusi. Inilah keadaan di mana sang anak menjadi kafir atau disebut juga non-Muslim.
Lalu bagaimana cara untuk kembali lagi kepada keadaan fitrah? Satu-satunya jalan adalah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Karena pada hakikatnya yang dimaksud dengan fitrah adalah Islam. Itulah sebabnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyebut agama Islam dalam sabda beliau tersebut. Rasulullah hanya menyebut Fitrah, Yahudi, Nasrani dan Majusi, di mana Fitrah = Islam. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya tersebut menjelaskan pengertian fitrah dengan membacakan firman Allah:
...
فِطۡرَةَ اللّٰهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيۡهَا لَا تَبۡدِيۡلَ لِخَلۡقِ اللّٰهِ
ذٰلِكَ الدِّينُ الۡقَيِّمُ ... – سورة الروم
“... Tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah Din yang lurus...” (QS. Ar-Rum [30]: 30).
Al-Qurthubi membawakan makna fitrah dalam tafsirnya, yaitu bermakna Islam. Beliau berkata:
ﺍﻹﺳﻼﻡ
ﻣﺬ ﺧﻠﻘﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺁﺩﻡ ﺟﻤﻴﻌﺎ
“Maknanya yaitu Islam. Ini sejak Allah menciptakan nabi Adam dan seluruh manusia.” (Lihat tafsir Al-Qurthubi).
Dengan demikian, kita bisa memaknai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut dengan kalimat: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan Islam. Maka orang tuanya yang akan menjadikan anak itu sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Terkait dengan argumen kedua, memang tidak ada yang namanya Islam keturunan. Yang ada adalah Islam sejak lahir, karena pada hakikatnya setiap anak yang lahir pasti dalam keadaan Islam (fitrah), sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.
Argumen ketiga mengatakan bahwa syahadat berarti ikrar, sumpah dan persaksian yang memang harus ada yang menyaksikan saat mengikrarkannya.
Namun tahukah kita bahwa ada dua bentuk persaksian? Yaitu persaksian dalam bentuk ucapan dan persaksian berbentuk perbuatan. Hal ini diutarakan oleh Ibnu Katsir melalui tafsirnya yang menyebutkan, “Kesaksian itu ada kalanya dilakukan dengan ucapan, ada kalanya pula dilakukan dengan keadaan (sikap dan perbuatan). Demikian pula permintaan, ada kalanya dengan ucapan dan ada kalanya dengan keadaan (sikap dan perbuatan).” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-A’raf [7]: 172-174).
Bagi mereka yang non-Muslim dan ingin kembali fitrah (masuk Islam), mereka harus bersyahadat dan dibimbing oleh orang Muslim. Ini termasuk persaksian secara lisan. Setelah itu mereka akan menerima hak dan kewajiban sebagai seorang Muslim yang sekaligus menjadi persaksian dalam bentuk perbuatan berupa ibadah dan sebagainya.
Sedangkan bagi mereka yang dilahirkan dari keluarga Muslim, maka tugas orang tua adalah membimbing sang anak agar hidup dengan cara Islam. Mengajarkan tauhid, akidah, akhlak, ibadah serta syariat-syariat Islam lainnya yang harus dilakukan oleh seorang Muslim. Itulah yang akan menjadi “syahadat” baginya, yaitu dengan amal perbuatannya. Itulah yang akan menjadi identitas yang menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang Muslim.
Misalnya ketika kita melihat seseorang mengerjakan shalat, secara naluri, kita pasti akan menganggapnya sebagai seorang Muslim.
Bagaimana dengan persaksian secara lisan?
Sebagai seorang Muslim, setidaknya kita sudah mengucapkan dua kalimat syahadat sebanyak sembilan kali dalam sehari semalam, yaitu ketika duduk tasyahud (tahiyat) pada shalat fardhu lima waktu. Hal ini juga berarti bahwa keislaman kita terus diperbaharui sebanyak lima kali dalam sehari, belum terhitung shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah lainnya.
Syahadat dalam shalat kan tidak ada yang menyaksikan?
Baiklah, sekarang coba kita kilas balik sejarah. Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada satu pun dari para sahabat yang membawa anaknya kepada Rasulullah untuk bersyahadat. Sebut saja, Abdullah bin Abbas (lahir 619M), Abdullah bin Umar (lahir 612M), Anas bin Malik (lahir 612M), Zaid bin Tsabit (lahir 610M), mereka semua adalah anak-anak yang lahir di awal masa kenabian dan hidup di lingkungan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Nabi sendiri pun tidak pernah meminta anak-anaknya untuk bersyahadat di hadapan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyatakan keislamannya.
Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meminta syahadat dari mereka semua? Jawabannya sederhana, karena mereka adalah anak-anak dari orang beriman dan telah dididik berdasarkan ajaran Islam. Bahkan ketika mereka pergi ke masjid untuk shalat, itu adalah “syahadat” mereka. Ketika mereka berpuasa Ramadhan, itu adalah syahadat mereka juga. Ketika mereka bayar zakat atau pergi haji ke baitullah, itu adalah syahadat mereka. Lantas buat apa mereka bersyahadat lagi? Apakah ada pihak yang meragukan atau mencurigai bahwa orang itu bukan muslim?
Para sahabat adalah orang-orang terdekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka hidup pada masa generasi terbaik, pengetahuan mereka tentang Din Islam tidak perlu diragukan lagi. Namun tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka menyuruh anak-anak mereka untuk bersyahadat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Di sisi lain, urusan syahadat ini sangat fundamental dan urgen dalam syariat Islam, sehingga sangat mustahil jika para sahabat tidak mengetahui tentang perkara ini atau keliru dalam mengamalkannya.
Wallahu a’lam bis-shawab.
* * *
0 Comments