Jangan Menceritakan Dosa yang Pernah Dilakukan


Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan berbuat dosa dengan kadar yang berbeda-beda. Di antara orang-orang yang berdosa itu ada yang sangat menyesalinya, ada yang mengabaikannya, ada yang justru sudah terbiasa dengan dosanya, bahkan ada pula orang yang justru merasa bangga hingga ia pun senang menceritakan perbuatan dosa yang pernah ia lakukan.

Jika kita mengkaji hal ini secara tepat, maka kita akan mengetahui bahwa Allah dan Rasul-Nya melarang kita untuk menceritakan perbuatan dosa yang dulu pernah kita lakukan, walaupun saat ini kita sudah bertaubat dari perbuatan tersebut. Berikut adalah hadits yang melarang kita untuk mengumbar atau membicarakan dosa yang pernah kita lakukan:

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الۡمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الۡمُجَاهَرَةِ أَنۡ يَعۡمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيۡلِ عَمَلًا ثُـمَّ يُصۡبِحَ وَقَدۡ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيۡهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلۡتُ الۡبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدۡ بَاتَ يَسۡتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصۡبِحُ يَكۡشِفُ سِتۡرَ اللهِ عَنۡهُ .

"Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang yang menampakkan (dosanya). Dan sesungguhnya di antara perbuatan menampakkan dosa adalah seorang hamba yang berbuat dosa di waktu malam dan Allah menutupinya hingga pagi, namun kemudian ia berkata: “Wahai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu”. Padahal Allah telah menutupi perbuatan dosanya di waktu malam, namun pagi harinya ia malah menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah."
(Shahih Al-Bukhari No. 6069 dan Shahih Muslim No. 2990).

Perbuatan menceritakan dosa yang pernah dilakukan disebut dengan jihar, dan pelakunya disebut mujahir.

Jika dilihat sekilas, hadits ini terlihat meragukan karena melarang kita umat Islam untuk jujur dengan perbuatan dosanya. Namun jika dipahami dengan lebih cermat, larangan jihar ini membawa kebaikan dan nilai positif yang lebih besar.

AWAS! Jangan dipahami bahwa Rasulullah membolehkan umatnya untuk berbuat dosa secara sembunyi-sembunyi! Rasulullah tidak pernah membolehkan perbuatan dosa apa pun. Pemahaman yang benar adalah jangan pernah mengungkap aib diri sendiri sementara Allah telah menutupi aib kita dari orang lain, apalagi jika kita sudah bertaubat dari perbuatan dosa tersebut.

Misalnya ada seorang ahli maksiat yang sudah bertaubat, namun ia suka menceritakan dosa-dosanya terdahulu kepada istrinya, anaknya, kerabatnya atau teman-temannya. Dampak negatif yang bisa muncul adalah hal ini dapat mengurangi kepercayaan dari istri atau keluarganya, mengurangi rasa hormat orang lain terhadapnya, atau bahkan anaknya akan "terinspirasi" untuk melakukan dosa yang sama dengan alasan bahwa ayahnya dahulu pernah melakukannya. Bukankah ini akan menimbulkan masalah baru?

Oleh sebab itu janganlah pernah menceritakan dosa dan maksiat yang pernah kita lakukan, besar maupun kecil, karena itu adalah aib diri sendiri. Jika orang lain tidak mengetahui aib kita, bukan karena kita pandai menyembunyikan perbuatan maksiat, melainkan karena Allah sayang kepada kita sehingga Allah tutupi aib kita dari pandangan orang lain. Jika Allah sudah menutupinya, maka jangan pernah mengungkapnya. Dengan demikian tidak ada orang yang merasa termotivasi atau terinspirasi melakukan dosa yang sama dengan yang dulu pernah kita lakukan. Inilah kebaikan dan dampak positif yang terkandung dalam hadits tersebut.

Banyak ulama yang mengatakan bahwa sutrah (tabir pelindung) dari Allah adalah merupakan nikmat yang besar, karena mampu menutupi dosa dan aib yang pernah kita lakukan asalkan kita sendiri tidak menyingkap tabir tersebut.

Lantas bagaimana dengan kisah seorang sahabat yang mengaku telah berzina dan minta dirajam?

Barangkali Anda pernah mendengar kisah Ma’iz bin Malik yang mendatangi Rasulullah untuk minta dirajam karena ia mengaku telah berzina (lihat Shahih Muslim: 1695). Namun apa yang dilakukan oleh Rasulullah? Beliau berpaling dan menolak pengakuan Ma’iz sebanyak tiga kali. Rasulullah bahkan dua kali mengutus seseorang untuk mencari informasi apakah Ma’iz memiliki gangguan akal atau tidak. Hal ini beliau lakukan untuk memastikan bahwa pengakuannya diucapkan secara sadar. Barulah kemudian setelah hari ketiga pengakuan Ma'iz, Rasulullah menjatuhkan hukuman rajam kepadanya.

Peristiwa serupa juga terjadi (dalam riwayat yang sama) ketika Rasulullah didatangi seorang wanita Ghamidiyah yang juga mengaku telah berzina, namun Rasulullah juga menolak pengakuannya. Keesokan harinya ia datang lagi, namun Rasul juga masih menolak pengakuannya. Setelah dikatakan bahwa ia sedang mengandung anak hasil perzinaannya, maka Rasulullah memerintahkan untuk menunda hukumannya hingga anak itu lahir.

Setelah bayinya lahir, wanita itu kembali menemui Rasulullah untuk meminta hukum had. Namun Rasulullah memintanya untuk menunda hingga anak itu disapih. Setelah anak tersebut disapih, wanita itu kembali menemui Rasulullah dan ia pun dijatuhi hukuman rajam dan anaknya diasuh oleh salah seorang sahabat.

Dari dua peristiwa itu para ulama melihat bahwa Rasulullah tidak suka menjatuhkan hukuman had kepada umatnya. Itulah sebabnya Rasulullah berkali-kali berpaling dan menolak pengakuan mereka dengan harapan agar mereka mencabut kembali pengakuannya.

Rasulullah bukannya tidak senang dengan kejujuran mereka, hanya saja beliau tidak suka mendengar tentang perbuatan maksiat yang telah mereka lakukan. Walaupun tujuan mereka itu baik, yaitu untuk menyucikan diri dari perbuatan dosa mereka dan mengharapkan ampunan dari Allah, namun Rasulullah lebih senang apabila umatnya cukup dengan bertaubat saja kepada Allah tanpa harus menjalani hukuman atau sanksi apa pun. Sikap tersebut tercermin dalam banyak hadits dan riwayat, di antaranya adalah sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

تَعَافُّوا الۡحُدُودَ فِيمَا بَيۡنَكُمۡ فَمَا بَلَغَنِي مِنۡ حَدٍّ فَقَدۡ وَجَبَ .

"Hendaklah kalian saling memaafkan dalam urusan hudud di antara kalian. Adapun perihal hukum had yang sampai padaku, maka itu wajib dilaksanakan (hukumannya)."
(H.R. Abu Daud: 4376 dan An-Nasa`i: 4885. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini shahih).

Imam Malik juga meriwayatkan sebuah hadits dari Zaid bin Aslam bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنۡ أَصَابَ مِنۡ هَذِهِ الۡقَاذُورَاتِ شَيۡئًا فَلۡيَسۡتَتِرۡ بِسِتۡرِ اللهِ فَإِنَّهُ مَنۡ يُبۡدِي لَنَا صَفۡحَتَهُ نُقِمۡ عَلَيۡهِ كِتَابَ اللهِ .

"Siapa yang terjerumus pada perbuatan kotor ini (zina) maka hendaklah ia menutupinya dengan tabir dari Allah. Karena sesungguhnya siapa saja yang memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka kami akan menegakkan hukum Allah atasnya."
(H.R. Malik dalam Al-Muwatha': 1588 versi Daarul Ma'rifah, Lebanon).

Dalam hadis yang serupa, dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merajam Al-Aslami (seseorang dari bani Aslam), beliau bersabda,

اِجۡتَنِبُوا هَذِهِ الۡقَاذُورَةَ الَّتِي نَـهَى اللهُ عَنۡهَا فَمَنۡ أَلَـمَّ فَلۡيَسۡتَتِرۡ بِسِتۡرِ اللهِ وَلۡيُتُبۡ إِلَى اللهِ فَإِنَّهُ مَنۡ يُبۡدِلۡنَا صَفۡحَتَهُ نُقِمۡ عَلَيۡهِ كِتَابَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ .

"Jauhilah perbuatan menjijikkan yang Allah larang ini (zina). Siapa yang pernah melakukannya, hendaknya dia menutupinya dengan tabir dari Allah dan bertaubat kepada Allah. Karena siapa yang kesalahannya dilaporkan kepada kami, maka kami akan tegakkan hukuman berdasarkan kitabullah ‘Azza wa Jalla."
(H.R. Al-Hakim, 3/272 dan Al-Baihaqi dalam As-Shughra, 2719. Imam Adz-Dzahabi mengatakan hadits ini shahih).

Masih banyak riwayat lain yang menunjukkan sikap yang serupa. Sikap Rasulullah tersebut menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang "kejam" yang suka menjatuhkan hukuman kepada penganutnya yang berdosa. Rasulullah juga bukanlah sosok yang senang menjatuhkan hukuman kepada umatnya. Beliau lebih menekankan kepada umatnya untuk saling memaafkan dalam perkara hukum, lalu cukup bertaubat kepada Allah tanpa harus menjalani hukuman di dunia.

Baca juga:

Namun apabila ada suatu perkara tindak pidana atau pelanggaran yang dilaporkan kepada Rasulullah, maka perkara itu wajib diselesaikan dengan sanksi jika sudah terbukti bersalah.

Kisah Ma’iz bin Malik dan wanita Ghamidiyah tadi memang menunjukkan bahwa mereka memiliki tekad yang sangat kuat untuk bertaubat kepada Allah. Saya sendiri pernah beranggapan bahwa dosa orang beriman tidak akan diampuni sebelum ia diberi hukuman sesuai syariat Islam. Ternyata saya keliru. Setelah saya pelajari lebih rinci, ternyata tidak ada satu pun ulama yang menetapkan bahwa menjalani sanksi atau hukuman di dunia adalah syarat diterimanya taubat.

Salah satu riwayat yang mendukung hal ini adalah kisah taubatnya Ali Al-Asadi, seorang pelaku kriminal hirabah (perampokan dan pembegalan). Menurut syariat Islam, hukuman bagi pelaku hirabah ada empat alternatif, yaitu dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara bersilang, atau diusir dari negeri tempat tinggalnya. Namun bila pelaku hirabah sudah bertaubat sebelum ia ditangkap, maka ia terbebas dari tuntutan hukuman tersebut. Dasarnya adalah firman Allah 'Azza wa Jalla:

إِنَّمَا جَزٰٓؤُاْ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسۡعَوۡنَ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓاْ أَوۡ يُصَلَّبُوٓاْ أَوۡ تُقَطَّعَ أَيۡدِيهِمۡ وَأَرۡجُلُهُم مِّنۡ خِلَٰفٍ أَوۡ يُنفَوۡاْ مِنَ ٱلۡأَرۡضِۚ ذَٰلِكَ لَهُمۡ خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ٣٣ إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ مِن قَبۡلِ أَن تَقۡدِرُواْ عَلَيۡهِمۡۖ فَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣٤

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan mereka mendapat siksaan yang besar di akhirat,”
“Kecuali orang-orang yang bertaubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Maidah [5]: 33-34).

Ali Al-Asadi adalah pelaku hirabah yang masih berstatus buronan. Hampir seluruh lapisan masyarakat mencari ingin menangkapnya karena perbuatannya sudah sangat meresahkan. Suatu hari ketika Al-Asadi hendak membegal seseorang di perjalanan, orang tersebut membaca firman Allah:

قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ  ٥٣

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Az-Zumar [39]: 53).

Mendengar ayat itu, Al-Asadi menyarungkan kembali pedangnya dan saat itu pula ia bertaubat. Al-Asadi lalu pergi ke Madinah dan tiba di sana saat waktu sahur (sebelum Subuh) dalam keadaan telah bertaubat. Setelah menunaikan shalat Subuh, ia duduk di dekat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang dikelilingi oleh murid-muridnya. Setelah pagi mulai cerah, orang-orang sekitarnya pun mengenalinya dan bangkit hendak menangkapnya. Al-Asadi lalu berkata, "Tiada jalan bagi kalian untuk menghukumku, karena aku telah bertaubat sebelum kalian menangkapku." Abu Hurairah pun berkata, “Dia benar.”

Lalu Abu Hurairah membawa Al-Asadi untuk menemui Marwan bin Hakam yang saat itu adalah Amir kota Madinah di masa pemerintahan Mu’awiyyah. Abu Hurairah berkata, “Orang ini datang dalam keadaan telah bertaubat, tiada jalan bagi kalian untuk menghukumnya dan ia tidak boleh dibunuh (hukum mati).” Berkat penjelasan Abu Hurairah itu, Ali Al-Asadi pun dibebaskan dari tuntutan hukum. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Maidah [5]: 33-34).

Dari kisah itu dapat diambil satu kesimpulan bahwa syarat taubat tidak harus menjalani hukuman. Kami yakin masih ada kisah-kisah yang serupa dengan ini.

Hak sesama muslim: saling menutup aib
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَمَنۡ سَتَرَ مُسۡلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ .

“Dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.” (Shahih Al-Bukhari: 2442).

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَسۡتُرُ عَبۡدٌ عَبۡدًا فِي الدُّنۡيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللهُ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ .

“Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” (Shahih Muslim: 2590).
________________________

Jika Anda merasa memiliki masa lalu yang kelam, bergelimang maksiat dan dosa, maka janganlah menceritakan hal tersebut dengan siapa pun. Cukup bertaubat kepada Allah, memohon ampunan-Nya, memperbaiki diri, dan cukuplah Allah menjadi sebaik-baik pelindung aib diri Anda agar tidak terlihat oleh orang lain. Ini merupakan nikmat besar yang harus disyukuri.

Menceritakan dosa yang pernah Anda lakukan tidak akan memberi manfaat apa pun bagi orang yang mendengar, Anda justru sama saja mengumbar aib yang sudah Allah tutupi dan mungkin Anda bisa mempermalukan diri sendiri di hadapan mereka. Jika memang ingin memberi nasihat kepada orang lain, setidaknya jangan katakan bahwa Anda pernah melakukan dosa tersebut. Sehingga dengan tidak melakukan jihar, Allah akan memaafkan dan mengampuni kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan.

Demikianlah ulasan tentang larangan untuk menceritakan dosa yang pernah dilakukan, semoga bermanfaat. Semoga Allah selalu menutup aib dan dosa kita di dunia hingga ke Akhirat nanti, aamiin...

اَللّٰهُمَّ سُبۡحٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَا إِنَّكَ أَنۡتَ الۡعَلِيمُ الۡحِكِيمُ .
"Ya Allah, Maha Suci Engkau, tidak ada ilmu yang kami ketahui selain dari ilmu yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana."

Allahu A’lam...

* * *

Post a Comment

0 Comments