Jangan Menilai Hati Orang Lain, Itu Urusan Allah!

Ajaran Islam memberikan dampak yang sangat signifikan kepada setiap pemeluknya. Dampak tersebut mencakup hati (akidah) dan juga perbuatan (amaliyah). Hati adalah tempat tertanamnya keimanan, keyakinan dan ketakwaan, sedangkan perbuatan adalah wujud dari ketaatan dan berserah dirinya hamba kepada Allah.

Semua orang pasti dapat melihat dan menilai orang lain dari perbuatan lahiriahnya (yang tampak), seperti perbuatan dan ucapan. Namun tidak ada satu pun manusia yang mampu melihat isi hati orang lain.

Mengenai hal ini, Islam mengajarkan supaya kita cukup menilai seseorang dari amalan zahirnya saja. Kita bisa melihat seseorang itu baik atau buruk cukup dari perbuatan dan ucapannya. Namun untuk urusan hatinya, kita tidak akan pernah tahu.

Hal yang paling fundamental dalam pembahasan kita kali ini adalah tentang keimanan dan keislaman. Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda jika disebutkan secara beriringan. Iman adalah amalan hati sedangkan Islam adalah ditunjukkan dengan perbuatan dan ucapan yang mencerminkan kepatuhan dan ketaatan kepada Allah.

Maka, jika ada seseorang yang melakukan amalan-amalan syariat Islam (shalat, puasa, dll), maka cukuplah bagi kita untuk menerimanya sebagai seorang muslim. Tidak perlu mempertanyakan apakah amalnya ikhlas atau tidak, sungguh-sungguh atau tidak, apakah imannya benar atau tidak, dan semisalnya. Itu semua di luar jangkauan pengetahuan kita, sehingga tidak perlu menyibukkan diri dengan urusan yang bukan hak kita.

Kalau kita sudah melihatnya sebagai seorang muslim, maka kita diharamkan untuk membunuhnya, merampas hartanya maupun menzaliminya dalam bentuk apa pun.

Dalam kitab Riyadhus Shalihin yang disusun oleh Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau menulis judul bab ke 49 yaitu:

باب إجراء أحكام الناس على الظاهر وسرائرهم إلى الله تعالى

“Bab Menjalankan Hukum-hukum Terhadap Manusia Menurut Zahirnya, Sedangkan Hati Mereka Terserah Allah Ta’ala”

Imam An-Nawawi rahimahullah mengawali bab tersebut dengan firman Allah berikut:

... فَإِن تَابُوۡا وَأَقَامُوۡا الصَّلٰوةَ وَءَاتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوۡا سَبِيۡلَهُمۡۚ إِنَّ اللّٰهَ غَفُوۡرٞ رَّحِيۡمٞ ٥

“... Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. At-Taubah [9]: 5).

Dalam bab ini terdapat 6 hadits, namun kita akan mengambil 4 hadits saja sebagai pokok pembahasan kita.

1. Hadits No. 390

Dari Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda:

أُمِرۡتُ أَنۡ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشۡهَدُوۡا أَنۡ لَا إِلٰهَ إِلَّا الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رسولُ اللهِ ويُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤتُوا الزَّكاةَ، فَإِذَا فَعَلُوۡا ذَلِكَ عَصَمُوۡا مِنِّي دِمَاءَهُمۡ وَأَمۡوَالَـهُمۡ إِلَّا بِحَقِّ الۡإِسۡلَامِ، وَحِسَابُـهُمۡ عَلَى اللهِ تَعَالَى .

"Aku diperintahkan untuk memerangi semua manusia, hingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat serta menunaikah zakat. Maka jika mereka telah melakukan yang demikian itu, terpeliharalah dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan haknya Islam, sedang hisab—perhitungan amal—mereka adalah terserah kepada Allah Ta'ala." (Shahih Al-Bukhari dan Muslim).

2. Hadits No. 391

Dari Abu Abdillah Thariq bin Usyaim radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنۡ قَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدًا رَسُوۡلُ اللهِ وَكَفَرَ بِـمَا يُعۡبَدُ مِنۡ دُونِ اللهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسابُهُ عَلَى اللهِ تَعَالَى .

“Barangsiapa yang mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah, dan ia mengingkari segala yang disembah (diibadahi) selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan hisab—perhitungan amalnya—terserah kepada Allah.” (Shahih Muslim).

Baca juga : Kalimat Laa Ilaaha Illallah Lebih Berat Daripada Dosa Sejauh Mata Memandang

3. Hadits No. 393

وعن أُسامةَ بنِ زَيۡدٍ ، رضي اللَّه عنهما قال : بَعَثَنَا رسولُ الله إِلَى الحُرَقَةِ مِنۡ جُهَيۡنَةَ ، فَصَبَّحۡنا الۡقَوۡمَ عَلى مِيَاهِهِمۡ، وَلحِقۡتُ أَنَا وَرَجُلٌ مِنَ الۡأَنۡصَارِ رَجُلًا مِنهُمۡ فَلَمَّا غَشِيناهُ قال: لَا إِلٰهِ إلَّا الله، فَكَفَّ عَنۡهُ الأَنۡصارِيُّ، وَطَعَنۡتُهُ بِرۡمِحِي حَتَّى قَتَلۡتُهُ ، فَلَمَّا قَدِمۡنَا الۡمَدينَةَ ، بلَغَ ذلِكَ النَّبِيَّ ، فقال لِي: يَا أُسَامَةُ أَقَتَلۡتَهُ بَعۡدَ مَا قَالَ : لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ ؟ قُلۡتُ: يا رسولَ الله إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا ، فَقَالَ: " أَقَتَلۡتَهُ بَعۡدَ مَا قَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ؟ فَما زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمنَّيۡتُ أَنِّي لَمۡ أَكُنۡ أَسۡلَمۡتُ قَبۡلَ ذلِكَ الۡيَوۡمِ. متفقٌ عليه.

وفي روايةٍ : فَقالَ رسولُ الله : أَقَالَ : لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَقَتَلۡتَهُ ؟ قُلۡتُ : يا رسولَ اللهِ ، إِنَّمَا قَالَـهَا خَوۡفًا مِنَ السِّلاحِ ، قال : أَفَلَا شَقَقۡتَ عَنۡ قَلۡبِهِ حَتَّى تَعۡلَمَ أَقَالَهَا أَمۡ لَا؟ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى تَمَنَّيۡتُ أَنِّي أَسۡلَمۡتُ يَؤۡمئذٍ .

Dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah ﷺ mengirim kami ke daerah Huraqah dari suku Juhainah. Kami berpagi-pagi menduduki tempat air mereka. Saya dan teman saya yang dari kaum anshar bertemu dengan seorang laki-laki (musuh) dari kalangan mereka. Setelah kami mendekatinya, ia mengucapkan “Laa Ilaaha Illallah”. Orang dari kaum anshar menahan diri dan tidak membunuhnya, sedangkan aku langsung membunuhnya dengan tombakku.

Setelah kami tiba di Madinah, peristiwa itu sampai ke Rasulullah ﷺ, lalu beliau bertanya kepadaku, “Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Ilaaha Illallah?”

Aku berkata, “Ya Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya mencari perlindungan diri (karena takut mati)”.

Rasulullah ﷺ bertanya lagi, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Ilaaha Illallah?” Pertanyaan itu terus diulang-ulang oleh Rasulullah sehingga aku membayangkan seandainya aku belum masuk Islam sebelum hari itu.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Bukankah ia telah mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, mengapa engkau membunuhnya?” Usamah menjawab, “Ya Rasulullah, ia mengucapkan itu hanya karena takut dengan senjataku.”

Rasulullah ﷺ bersabda, “Mengapa engkau tidak belah dadanya (untuk melihat hatinya) sehingga engkau bisa tahu apakah ia mengucapkannya karena takut mati atau tidak (yakni karena ikhlas)?” Beliau terus mengulang-ulang pertanyaan itu hingga aku mengharapkan bahwa aku masuk Islam mulai hari itu saja.” (Muttafaqun 'alaih. Shahih Al-Bukhari: 4269 dan Shahih Muslim: 96).

Hadits tersebut menceritakan tentang menyesalnya Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu yang telah membunuh seseorang yang telah mengucapkan “Laa Ilaaha Illallah”. Ia sampai dihujani pertanyaan oleh Rasulullah ﷺ yang berulang-ulang. Begitu menyesalnya Usamah sampai-sampai ia berharap dirinya belum masuk Islam ketika itu. Karena kalau seandainya ia baru masuk Islam di hari itu, maka ada jaminan dosanya akan diampuni oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Allahu A'lam.

4. Hadits No. 395

وعن عبدِ الله بنِ عتبة بن مسعودٍ قال : سمِعۡتُ عُمَر بۡنَ الخَطَّابِ رضي اللَّه عنه يقولُ: إِنَّ نَاسًا كَانُوا يُؤۡخَذُونَ باِلۡوَحۡيِ في عَهۡدِ رسولِ اللهِ ، وإِنَّ الوَحۡيَ قَدِ انۡقَطَعَ، وإِنَّمَا نَأۡخُذُكُمُ الآنَ بِما ظَهَرَ لَنَا مِنۡ أَعۡمَالِكُمۡ ، فَمَنۡ أَظۡهَرَ لَنا خَيۡرًا أَمَّنَّاهُ وقَرَّبۡنَاهُ وَلَيۡسَ لَنَا مِنۡ سَرِيرَتِهِ شَيۡءٌ ، اَللهُ يُحاسِبُهُ في سَرِيرَتِهِ ، وَمَنۡ أَظۡهَرَ لَنَا سُوۡءًا لَمۡ نأۡمَنۡهُ وَلَمۡ نُصَدِّقۡهُ وَإِنۡ قَالَ إِنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ .

Dari Abdullah bin Utbah bin Mas’ud ia berkata: “Aku mendengar Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya seluruh manusia dahulu ditetapkan dengan hukum sesuai dengan adanya wahyu, yakni di masa Rasulullah . Dan sesungguhnya sekarang wahyu itu telah terputus. Dan sesungguhnya sekarang kami menuntut kalian semua atas dasar apa pun yang zahir (terlihat) dari segala amalan yang kalian lakukan.

Barangsiapa yang menampakkan perbuatan baik kepada kami, maka kami berikan keamanan dan kami dekatkan kedudukannya kepada kami, sedangkan kami tidak mempersoalkan sedikit pun tentang hatinya. Allah-lah yang akan menghisab isi hatinya itu.

Dan barangsiapa yang menampakkan perbuatan buruk kepada kami, maka kami tidak akan memberikan keamanan kepadanya dan tidak akan mempercayai ucapannya, sekalipun ia mengatakan bahwa niat hatinya adalah baik.” (Shahih Al-Bukhari)

Itulah 4 hadits yang terdapat dalam kitab Riyadhus Shalihin Bab 49, yang menunjukkan bahwa kaum muslimin hanya cukup menilai seseorang dari segala yang terlihat, baik perbuatan maupun ucapan. Sedangkan urusan hatinya, biarlah Allah yang menghisabnya, karena memang hanya Allah yang mampu.

Baca juga : Mukmin dan Kafir

Sebagai pelengkap, ada suatu riwayat ketika Rasulullah ﷺ menerima kiriman emas dari Ali bin Abi Thalib. Rasulullah ﷺ membagi emas tersebut kepada 4 orang: Uyainah bin Hishn, Al-Aqra’ bin Habis, Zaid Al-Khail, sedangkan orang keempat yaitu antara Alqamah bin Ulatsah atau Amir bin Thufail. Kemudian ada salah seorang yang berkata:

كُنَّا نَحۡنُ أَحَقَّ بِـهَذَا مِنۡ هَؤُلَاءِ .

“Sesungguhnya kami lebih berhak menerimanya daripada mereka!”

Komentar itu pun didengar oleh Rasulullah, lalu beliau ﷺ pun bersabda:

أَلَا تَأۡمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنۡ فِي السَّمَاءِ، يَأۡتِينِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً .

“Apakah kalian tidak mempercayaiku sedangkan aku adalah manusia kepercayaan Dzat yang berada di langit? Dan aku juga menerima wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.”

Kemudian berdirilah seseorang yang matanya cekung, tulang pipinya cembung, dahinya menonjol, jenggotnya lebat, kepalanya gundul dan kain sarungnya disingsingkan, lalu ia berkata:

يَا رَسُولَ اللهِ، اِتَّقِ اللهَ !

“Ya Rasulullah, bertakwalah kepada Allah!” Rasulullah pun berkata:

وَيۡلَكَ! أَوَلَسۡتُ أَحَقَّ أَهۡلِ الۡأَرۡضِ أَنۡ يَتَّقِيَ اللهَ .

“Celakalah kamu! Bukankah aku adalah penduduk bumi yang paling bertakwa kepada Allah?!”

Orang itu pun pergi, dan Khalid bin Walid yang melihat kejadian itu berkata:

يَا رَسُولَ اللهِ، أَلَا أَضۡرِبُ عُنُقَهُ ؟

“Ya Rasulullah, bolehkah kupenggal lehernya?” Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا، لَعَلَّهُ أَنۡ يَكُونَ يُصَلِّي .

“Jangan. Barangkali ia masih mengerjakan shalat.” Khalid bin Walid berkata:

وَكَمۡ مِنۡ مُصَلٍّ يَقُولُ بِلِسَانِهِ مَا لَيۡسَ فِي قَلۡبِهِ .

“Berapa banyak orang yang shalat namun ia mengucapkan dengan lisannya sesuatu yang tidak ada dalam hatinya.” Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنِّي لَـمۡ أُومَرۡ أَنۡ أَنۡقُبَ عَنۡ قُلُوبِ النَّاسِ وَلَا أَشُقَّ بُطُونَـهُمۡ .

“Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk melihat isi hati manusia dan tidak pula isi perutnya.” (Shahih Al-Bukhari: 4351 dan Muslim: 1064).

_________________________

Saudaraku sekalian, manusia tidak akan pernah bisa melihat dan menilai isi hati orang lain. Maka, tidak sepantasnya kita menduga-duga isi hati orang lain. Tidak sepantasnya pula kita menganggap orang lain tidak beriman sementara mereka masih menerima kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah dan mereka masih shalat. Nabi Muhammad ﷺ sendiri menjadikan alasan tersebut sebagai dasar untuk menilai manusia berdasarkan perbuatan lahiriahnya, yaitu shalat.

Rasulullah ﷺ tidak diperintahkan untuk mempersoalkan isi hati umatnya, dan sikap ini juga yang diikuti oleh sahabat yang mulia, Amirul Mukminin Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu. Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita mengambil sikap yang sama dengan panutan kita, sosok figur yang sangat mulia ini, Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Allahu A’lam...

* * *

Lihat artikel versi PDF di Academia, klik di sini.


Post a Comment

0 Comments