Sejarah Penyimpangan Khawarij


A. Pengertian Khawarij

Khawarij berasal dari kata kharaja ( خَرَجَ ) yang artinya keluar. Sebagian besar peneliti sejarah Islam mendefinisikan Khawarij sebagai kelompok yang keluar dari barisan pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib setelah terjadinya arbitrase (tahkim) pasca perang Shiffin.

Disebutkan pula oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dalam kitab Maqalatul Islamiyyin: 

والسبب الذي سموا له خوارج خروجهم على علي لما حكم

"Alasan mengapa mereka disebut khawarij adalah karena mereka keluar/memberontak (pemerintahan) Ali disebabkan peristiwa tahkim."

Definisi mayoritas sejarawan seperti di atas adalah definisi Khawarij secara sempit. Dengan definisi tersebut, Khawarij bisa dibilang sudah tak ada lagi di masa berikutnya setelah matinya seluruh pihak penentang Ali tersebut.

Namun sebagian ahli sejarah lainnya mendefinisikan Khawarij secara lebih luas hingga mencakup siapa pun yang keluar dari kubu penguasa yang sah, misalnya As-Syahrastani yang mendefinisikan Khawarij sebagai berikut:

كل من خرج على الإمام الحق الذي اتفقت الجماعة عليه يسمى خارجيًا، سواء كان الخروج في أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أو كان بعدهم على التابعين لـهم بإحسان والأئمة في كل زمان 

"Setiap orang yang keluar (menentang) pemimpin yang sah yang telah diputuskan oleh masyarakat disebut sebagai Khawarij, baik penentangan itu terjadi di masa sahabat terhadap para Khulafaur Rasyidin atau terjadi setelah mereka terhadap para tabiin yang baik dan para pemimpin di setiap zaman."

Dengan definisi seperti ini, maka Khawarij bisa dikatakan tetap ada hingga saat ini. Seluruh kelompok pemberontak dan separatis di suatu negara bisa dikategorikan Khawarij sebab mereka menentang pemimpin yang sah.

Dari definisi di atas, terlihat bahwa sebenarnya khawarij adalah sebuah gerakan politik, bukan gerakan agama, sebab sorotan utamanya adalah masalah kepemimpinan politik, namun kemudian gerakan ini memakai isu-isu agama sebagai propaganda utama untuk melawan pemerintah. Dari penentangannya terhadap pemerintah inilah mereka mendapat nama Khawarij yang secara harfiah berarti "orang-orang yang keluar". Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mencatat bahwa para Khawarij tak henti-hentinya selalu keluar untuk menentang pemerintah.

B. Cikal Bakal Khawarij di Masa Rasulullah ﷺ

Bibit kemunculan Khawarij sudah ada sejak masa Nabi Muhammad ﷺ. Hanya saja mereka baru benar-benar muncul ke permukaan di akhir masa kekhalifahan Utsman bin ‘Affan dan di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Ada suatu riwayat shahih yang disebutkan oleh imam Al-Bukhari dan Muslim ketika Rasulullah ﷺ menerima kiriman emas dari Ali bin Abi Thalib. Rasulullah ﷺ membagi emas tersebut kepada 4 orang: Uyainah bin Hishn, Al-Aqra’ bin Habis, Zaid Al-Khail, sedangkan orang keempat yaitu antara Alqamah bin Ulatsah atau Amir bin Thufail. Setelah emas itu selesai dibagikan, ada salah seorang yang berkata:

كُنَّا نَحۡنُ أَحَقَّ بِـهَذَا مِنۡ هَؤُلَاءِ

"Sesungguhnya kami lebih berhak menerimanya daripada mereka!"

Komentar itu pun didengar oleh Rasulullah, lalu beliau ﷺ pun bersabda:

أَلَا تَأۡمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنۡ فِي السَّمَاءِ، يَأۡتِينِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً

"Apakah kalian tidak mempercayaiku sedangkan aku adalah manusia kepercayaan Dzat yang berada di langit? Dan aku juga menerima wahyu dari langit di waktu pagi dan petang."

Kemudian berdirilah seseorang yang matanya cekung, tulang pipinya cembung, dahinya menonjol, jenggotnya lebat, kepalanya gundul dan kain sarungnya disingsingkan, lalu ia berkata:

يَا رَسُولَ اللهِ، اِتَّقِ اللهَ

"Ya Rasulullah, bertakwalah kepada Allah!" Rasulullah pun berkata:

وَيۡلَكَ! أَوَلَسۡتُ أَحَقَّ أَهۡلِ الۡأَرۡضِ أَنۡ يَتَّقِيَ اللهَ

"Celakalah kamu! Bukankah aku adalah penduduk bumi yang paling bertakwa kepada Allah?!"

Orang itu pun pergi, dan Khalid bin Walid yang melihat kejadian itu berkata:

يَا رَسُولَ اللهِ، أَلَا أَضۡرِبُ عُنُقَهُ ؟

"Ya Rasulullah, bolehkah kupenggal lehernya?" Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا، لَعَلَّهُ أَنۡ يَكُونَ يُصَلِّي

"Jangan. Barangkali ia masih mengerjakan shalat." Khalid bin Walid berkata:

وَكَمۡ مِنۡ مُصَلٍّ يَقُولُ بِلِسَانِهِ مَا لَيۡسَ فِي قَلۡبِهِ

"Berapa banyak orang yang shalat namun ia mengucapkan dengan lisannya sesuatu yang tidak ada dalam hatinya." Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنِّي لَـمۡ أُومَرۡ أَنۡ أَنۡقُبَ عَنۡ قُلُوبِ النَّاسِ وَلَا أَشُقَّ بُطُونَـهُمۡ

"Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk melihat isi hati manusia dan tidak pula isi perutnya."


Baca juga: Jangan Menilai Hati Orang Lain, Itu Urusan Allah!


Kemudian Nabi memperhatikan orang itu lalu bersabda:

إِنَّهُ يَخۡرُجُ مِنۡ ضِئۡضِئِ هَذَا قَوۡمٌ يَتۡلُونَ كِتَابَ اللهِ رَطۡبًا لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمۡ يَـمۡرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَـمۡرُقُ السَهۡمُ مِنَ الرَّمِيَّهِ وَأَظُنُّهُ قَالَ لَئِنۡ أَدۡرَكۡتُهُمۡ لَأَقۡتُلَنَّهُمۡ قَتۡلَ ثَـمُودَ

"Sesungguhnya dari keturunannya akan muncul suatu kaum yang membaca kitabullah tapi hanya sampai tenggorokannya saja. Mereka lepas (keluar) dari agama sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.” Nabi juga bersabda: "Seandainya aku hadir di masa itu, maka aku akan bunuh mereka sebagaimana kaum Tsamud dibinasakan." (Shahih Al-Bukhari: 4351 dan Shahih Muslim: 1064).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa nama laki-laki itu adalah Dzul Khuwaishirah At-Tamimi. (Lihat dalam Shahih Al-Bukhari No. 3610, 6163 dan 6933).

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Talbis Iblis mengomentari sosok Dzul Khuwaishirah sebagai berikut:

أول الخوارج وأقبحهم حالة ذو الخويصرة التميمي. هَذَا الرَّجُل يقال لَهُ ذو الخويصرة التميمي وفي لفظ أنه قَالَ لَهُ اعدل فَقَالَ ويلك ومن يعدل إذا لم أعدل فهذا أول خارجي خرج فِي الإسلام وآفته أنه رضي برأي نفسه ولو وقف لعلم أنه لا رأي فوق رأي رَسُول اللهِ ﷺ وأتباع هَذَا الرَّجُل هم الذين قاتلوا عَلِيّ بۡن أبي طالب كرم الله وجهه

"Khawarij pertama dan yang paling buruk tindakannya adalah orang ini yang disebut Dzul Khuwaishirah At-Tamimi. Dalam suatu riwayat Dia berkata kepada nabi: “Adillah!” lalu Nabi bersabda: “Celakalah kamu, Siapakah yang bisa adil kalau aku saja tidak adil?”. Inilah khawarij pertama yang muncul dalam Islam. Masalah utamanya adalah dia puas terhadap pendapatnya sendiri yang andai ia diam dan berpikir tentu ia mengerti bahwa tidak ada pendapat yang lebih tinggi dari pendapat Rasulullah . Pengikut orang ini adalah orang-orang yang memerangi Ali bin Abi Thalib."

C. Celaan Rasulullah  Terhadap Kaum Khawarij

Hadits pertama, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

سَيَخۡرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوۡمٌ أَحۡدَاثُ الأَسۡنَانِ سُفَهَاءُ الأَحۡلَامِ يَقُولُونَ مِنۡ خَيۡرِ قَوۡلِ الۡبَرِيَّةِ، يَقۡرَءُونَ الۡقُرۡآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمۡ، يَمۡرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمۡرُقُ السَّهۡمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمۡ فَاقۡتُلُوهُمۡ؛ فَإِنَّ فِي قَتۡلِهِمۡ أَجۡرًا لِمَنۡ قَتَلَهُمۡ عِنۡدَ اللهِ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ

"Akan keluar di akhir zaman, sekelompok kaum yang pengalamannya kurang (pemahaman agamanya sedikit), akalnya bodoh. Mereka mendengung-dengungkan ucapan terbaik yang ada di muka bumi ini. mereka membaca al-Qur`an, namun tidak melewati tenggorokannya. Mereka melesat dari agama, sebagaimana anak panah melesat (menembus) hewan sasaran. Jika kalian menjumpai mereka, bunuhlah mereka. Karena membunuh mereka ada pahalanya di sisi Allah di Hari Kiamat." (Shahih Al-Bukhari: 3611, dan Shahih Muslim: 1066).

Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam catatan kaki Shahih Al-Bukhari menjelaskan makna dari kalimat "mendengung-dengungkan ucapan terbaik yang ada di muka bumi" adalah mereka mendengungkan kalimat: إِنِ الۡحُكۡمُ إِلَّا لِلّٰهِ (Tidak ada hukum, kecuali milik Allah). Namun dengan kalimat ini, mereka mengkafirkan sekian banyak kaum muslimin.

Hadits kedua, dari Yusair bin Amr, bahwa beliau bertanya kepada Sahl bin Huaif, ‘Apakah anda pernah mendengar Nabi ﷺ menyebut tentang khawarij?’ Jawab Sahl: ‘Saya pernah mendengarnya. Beliau ﷺ menunjuk dengan tangannya ke arah timur sambil bersabda,

قَوۡمٌ يَقۡرَءُونَ الۡقُرۡآنَ بِأَلۡسِنَتِهِمۡ لَا يَعۡدُو تَرَاقِيَهُمۡ، يَمۡرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمۡرُقُ السَّهۡمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ

"Sekelompok kaum yang membaca al-Qur`an dengan lisannya namun tidak menembus tenggorokannya. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari busurnya." (Shahih Muslim: 1068).

Beberapa riwayat menyebutkan dengan redaksi: "melesatnya anak panah menembus sasaran (hewan buruan)."

Hadits ketiga, dari Ibnu Abu Aufa, Rasulullah ﷺ bersabda:

الخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ

"Orang-orang Khawarij adalah anjing-anjing neraka." (HR. Ibnu Majah: 173. Syaikh Al-Albani berkata bahwa hadits ini shahih).

D. Julukan-julukan Kaum Khawarij

Dalam perkembangannya, Khawarij dikenal dengan berbagai nama atau julukan yang berbeda, diantaranya adalah:

  1. Al-Haruriyah; karena markas mereka yang pertama berada di daerah Harura`. Di Harura` inilah generasi pertama dari Khawarij tinggal dan menyusun kekuatannya. 
  2. As-Syurah; yang secara harfiah berasal dari kata syara yang berarti “para pembeli” sebab di antara jargon mereka adalah “kami membeli surga dengan diri kami” yang mereka sandarkan kepada firman Allah QS. At-Taubah [9] ayat 111. 
  3. Al-Muhakkimah; sebab mereka mempunyai slogan “tidak ada hukum kecuali milik Allah” ( لَا حُكۡمَ إِلَّا لِلّٰهِ ) yang diadopsi dari firman Allah QS. Al-An’am [6] ayat 57. 
  4. Al-Mariqah; yang berarti kelompok yang menjauh dari agama sebab keberadaan mereka selalu diidentikkan dengan orang-orang yang oleh Nabi Muhammad disebut menjauh dari agama seperti melesatnya anak panah dari busurnya (lihat Shahih Al-Bukhari No. 3414, 4771, 5811, 6532 dan Shahih  Muslim No. 1063). (Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Maqalatul Islamiyyin, hal. 127-128). 
  5. Al-Mukaffirah; karena mereka mengkafirkan setiap kaum muslimin yang melakukan dosa besar. Mereka juga mengkafirkan setiap kaum muslimin yang berbeda akidah dan manhaj dengan mereka. 
  6. Ahlu Nahrawan; merujuk pada Khawarij generasi pertama yang berbasis di Nahrawan.
  7. As-Saba`iyah; karena awal kemunculan mereka bermula dari fitnah yang dilakukan oleh Abdullah bin Saba`. Dialah yang menggerakkan orang-orang Kuffah menuju Madinah untuk membunuh Khalifah Utsman. Julukan As-Saba`iyah ditujukan kepada kelompok Khawarij generasi awal dan tokoh-tokoh pembesar mereka.

E. Pokok-pokok Akidah Kaum Khawarij

Berikut adalah beberapa poin yang menjadi pokok akidah kaum Khawarij:

1. Orang Islam yang melakukan dosa besar akan menjadi kafir, kekal di neraka serta halal darah dan hartanya (boleh dibunuh dan hartanya boleh dirampas).

2. Mengkafirkan Khalifah Ali, Utsman bin ‘Affan, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, kedua negosiator (Abu Musa dan Amru bin ‘Ash), serta mengkafirkan siapa saja yang menerima hasil tahkim kesepakatan perdamaian antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah. Adapun kekhilafahan Abu Bakar dan Umar tetap diakui sebagai Amirul Mukminin.

3. Wajib memberontak terhadap penguasa muslim yang zalim.

4. Menolak sunnah Nabi yang bertentangan dengan pokok-pokok keyakinan mereka. Termasuk juga menolak hadits ahad jika hadits tersebut mengandung hukum yang lebih dari apa yang tercantum dalam al-Qur`an.

5. Menolak hadits-hadits yang diriwayatkan dari jalur Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, serta jalur periwayatan dari siapa saja yang mendukung ketiga sahabat tersebut.

F. Kaum Khawarij di Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib

Pasca terjadinya pembunuhan terhadap Khalifah Utsman, secara umum kaum muslimin terpecah ke dalam dua kubu, yaitu kubu Ali bin Abi Thalib dan kubu Ummul Mukminin Aisyah yang beraliansi dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Kubu Khalifah Ali pernah bentrok dengan kubu Aisyah dalam perang Jamal (36 H) yang dimenangkan oleh pasukan Khalifah Ali. Selanjutnya giliran kubu Mu’awiyah yang menjadi penantang berikutnya melawan pasukan Khalifah Ali dalam perang Shiffin (37 H). Di akhir perang Shiffin ini terjadi arbitrase (tahkim) antara kubu Khalifah Ali dan kubu Mu’awiyah. Dalam proses tahkim ini kubu Khalifah Ali mengutus Abu Musa Al-Asy’ari sebagai negosiator, sedangkan kubu Mu’awiyah mengutus Amru bin ‘Ash.

Baca juga: Perang Jamal dan Shiffin

Hasil akhir tahkim tersebut memenangkan kubu Mu’awiyah, sehingga Mu’awiyah pun dibaiat menjadi khalifah berikutnya. Ali bin Abi Thalib sendiri tidak merasa keberatan. Beliau justru enggan untuk meneruskan jabatan khalifah. Hal inilah yang membuat banyak orang dari pendukung Ali bin Abi Thalib merasa kecewa sehingga mereka keluar memisahkan diri dan mulai memusuhi serta memerangi kubu Ali bin Abi Thalib dan juga kubu Mu’awiyah. Kelompok inilah yang disebut Khawarij.

Kelompok Khawarij ini berpendapat bahwa Khalifah Ali tidak lagi berhukum kepada al-Qur`an dan sunnah karena beliau menggunakan utusan negosiator dalam upaya tahkim tersebut. Kaum Khawarij pun memberikan vonis kafir terhadap seluruh pengikut Mu’awiyah karena telah menentang kekhalifahan yang sah, namun juga mengkafirkan kubu Ali bin Abi Thalib karena menerima hasil negosiasi tersebut serta mengkafirkan siapa saja yang menyetujui keputusan Ali. Sehingga yang tidak kafir hanyalah kelompok mereka sendiri.

Ibnu Abbas berdebat dengan kaum Khawarij

Sepulang dari peristiwa Shiffin, Ali bin Abi Thalib bersama seluruh pasukannya kembali ke Kuffah. Beberapa mil sebelum sampai Kuffah, ada sekelompok orang yang memisahkan diri dari jamaah dan mencari jalur yang berbeda. Mereka tidak terima dengan gencatan senjata antara Ali dengan Muawiyah. Berdasarkan riwayat Abdurrazaq dalam kitab Al-Mushannaf bahwa mereka berjumlah 14 ribu orang.

Peristiwa tahkim, kesepakatan damai antara Ali dengan Muawiyah radhiallahu ‘anhuma, yang diwakilkan kepada dua sahabat Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin Ash radhiallahu ‘anhuma, menjadi pemicu sebagian masyarakat yang sok tahu dengan dalil untuk mengkafirkan Ali bin Abi Thalib. Karena peristiwa ini, pada saat Ali bin Abi Thalib berkhutbah, banyak orang meneriakkan:

لَا حُكۡمَ إِلَّا لِلّٰهِ

"Tidak ada hukum kecuali hanya milik Allah!"

Mereka beranggapan—dengan kebodohannya—, Ali telah menyerahkan hukum kepada manusia (Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu), yang oleh mereka itu dianggap telah meninggalkan hukum Allah.

Ali tetap melanjutkan perjalanan hingga sampai di Kuffah sambil berharap agar mereka mau kembali bergabung bersamanya. Untuk tujuan itu, beliau mengutus Ibnu Abbas agar berdialog dengan mereka.

Diriwayatkan oleh Imam An-Nasa`i dalam kitab Al-Khasha`ish Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib (190), dengan sanad yang hasan,

أخبرنا عمرو بن علي قال حدثنا عبد الرحمن بن مهدي قال حدثنا عكرمة بن عمار قال حدثني أبو زميل قال حدثني عبد الله بن عباس قال

‘Amr bin Ali mengabarkan kepadaku, ia berkata, ‘Abdurrahman bin Mahdi menuturkan kepadaku, Ikrimah bin ‘Ammar berkata, Abu Zamil menuturkan kepadaku, ia berkata, Abdullah bin ‘Abbas berkata:

لما خرجت الحرورية اعتزلوا في دار و كانوا ستة آلاف فقلت لعلي يا أمير المؤمنين أبرد بالصلاة لعلي أكلم هؤلاء القوم قال إني أخافهم عليك قلت كلا

"Ketika kaum Haruriyyah (Khawarij) memberontak, mereka berkumpul menyendiri di suatu daerah. Ketika itu jumlah mereka sekitar 6.000 orang. Maka aku pun berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib: “wahai Amirul Mukminin, tundalah shalat zhuhur hingga matahari tidak terlalu panas, mungkin aku bisa berbicara dengan mereka”. Ali berkata: “aku mengkhawatirkan keselamatanmu”. Aku berkata: “engkau tidak perlu khawatir."

Dalam kitab Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur`an, Imam As-Suyuthi menukil sebuah riwayat dari Ibnu Sa’ad dari jalur Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengutus Ibnu ‘Abbas kepada kaum Khawarij untuk berdebat dengan mereka. Beliau berkata:

اِذۡهَبۡ إِلَيۡهِمۡ فَخَاصِمۡهُمۡ، وَلَا تُحَاجِّهِمۡ بِالۡقُرۡآنِ فَإِنَّهُ ذُو وُجُوه، وَلَكِنۡ خَاصِمۡهُمۡ بِالسُّنَّةِ

“Pergilah kamu dan berdebatlah dengan mereka, dan janganlah berhujjah (berargumen) menggunakan al-Qur`an karena al-Qur`an memiliki banyak wajah (banyak penafsiran), tetapi debatlah mereka menggunakan sunnah.”

Dari jalur periwayatan yang lain disebutkan pula oleh Ibnu Sa’ad bahwa Ibnu ‘Abbas berkata kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu,

يَا أَمِيرُ الۡمُؤمِنِينَ فَأَنَا أَعۡلَمُ بِكِتَابِ اللهِ مِنۡهُمۡ، فِي بُيُوتِنَا نَزَلَ. قَالَ صَدَقۡتَ، وَلَكِن الۡقُرۡآن حَمَّالٌ ذُو وُجُوه، تَقُولُ وَيَقُولُونَ، وَلَكِنۡ خَاصِمۡهُمۡ بِالسُّنَنِ، فَإِنَّـهُمۡ لَنۡ يَجِدُوا عَنۡهَا مَحِيصًا. فَخَرَجَ إِلَيۡهِمۡ فَخَاصِمۡهُمۡ بِالسُّنَنِ فَلَمۡ تَبَقَ بِأَيۡدِيهِمۡ حُجَّةٌ 

"Wahai Amirul Mukminin, aku lebih memahami al-Qur`an daripada mereka, karena al-Qur`an diturunkan di rumah kita." Ali bin Abi Thalib menjawab: "Engkau benar, akan tetapi al-Qur`an memiliki banyak wajah (banyak penafsiran), jika engkau sampaikan penafsiranmu, maka mereka akan menyampaikan penafsiran yang berbeda. Tetapi debatlah mereka dengan sunnah, maka mereka tidak akan bisa lari." Maka Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu berdebat dengan mereka menggunakan dalil sunnah dan mereka pun tidak memiliki hujjah lagi."

(Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulumil Quran, hal. 302, cet. I (1429 H/2008 M), Penerbit Resalah, Beirut - Lebanon).

فلبست وترجلت ودخلت عليهم في دار نصف النهار وهم يأكلون فقالوا مرحبا بك يا ابن عباس فما جاء بك قلت لهم أتيتكم من عند أصحاب النبي المهاجرين والأنصار ومن عند ابن عم النبي وصهره وعليهم نزل القرآن فهم أعلم بتأويله منكم و ليس فيكم منهم أحد لأبلغكم ما يقولون وأبلغهم ما تقولون فانتحى لي نفر منهم 

"Lalu aku memakai pakaian yang bagus dan berhias. Aku sampai di daerah mereka pada waktu tengah hari, ketika itu kebanyakan mereka sedang makan. Mereka berkata: "marhaban bik (selamat datang) wahai Ibnu ‘Abbas, apa yang membuatmu datang ke sini?".

Aku berkata: "Aku datang mewakili para sahabat Nabi dari kaum Muhajirin dan Anshar dan mewakili anak dari paman Nabi (Ali bin Abi Thalib). Merekalah yang menyertai Nabi, al-Qur`an diturunkan di tengah-tengah mereka, dan merekalah yang paling memahami tafsir al-Qur`an. Dan tidak ada seorang pun sahabat Nabi di antara kalian. Akan aku sampaikan perkataan mereka yang lebih benar dari perkataan kalian". Lalu sebagian dari mereka mencoba menahanku untuk bicara."

قلت هاتوا ما نقمتم على أصحاب رسول الله وابن عمه قالوا ثلاث قلت ما هن قال أما إحداهن فانه حكم الرجال في أمر الله وقال الله إن الحكم إلا لله ( الأنعام 57 يوسف 40 67 ) ما شأن الرجال والحكم قلت هذه واحدة قالوا وأما الثانية فانه قاتل ولم يسب ولم يغنم إن كانوا كفارا لقد حل سبيهم ولئن كانوا مؤمنين ما حل سبيهم ولا قتالهم قلت هذه ثنتان فما الثالثة وذكر كلمة معناها قالوا محى نفسه من أمير المؤمنين فإن لم يكن أمير المؤمنين فهو أمير الكافرين قلت هل عندكم شيء غير هذا قالوا حسبنا هذا 

Aku berkata lagi: "sampaikan padaku apa alasan kalian memerangi para sahabat Rasulullah dan anak dari pamannya (Ali bin Abi Thalib)?". Mereka menjawab: "Ada 3 hal". Aku berkata: "Apa saja?" Mereka menjawab:

Pertama: ia telah menjadi hakim dalam urusan Allah, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya hukum itu hanyalah milik Allah” (QS. Al-An’am: 57, Yusuf: 40 dan 67). Betapa beraninya seseorang menetapkan hukum!” Aku berkata: "Ini yang pertama, lalu?"

Mereka menjawab: "Kedua: ia memimpin perang (melawan ‘Aisyah) namun tidak mengambil tawanan dan tidak mengambil ghanimah. Padahal jika memang ia memerangi orang kafir maka halal tawanannya. Namun jika yang diperangi adalah orang mukmin maka tidak halal tawanannya dan tidak boleh diperangi". Aku berkata: "Ini yang kedua, lalu apa yang ketiga?".

(Ketiga) Mereka menyampaikan perkataan yang intinya kaum Khawarij berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib tidak mau disebut Amirul Mukminin, berarti ia adalah Amirul Kafirin. Aku (Ibnu Abbas) lalu berkata: "Apakah masih ada lagi alasan kalian?". Mereka menjawab: "Itu sudah cukup".

قلت لهم أرأيتكم إن قرأت عليكم من كتاب الله جل ثناءه وسنة نبيه ما يرد قولكم أترجعون قالوا نعم قلت أما قولكم حكم الرجال في أمر الله فإني أقرأ عليكم في كتاب الله أن قد صير الله حكمه إلى الرجال في ثمن ربع درهم فأمر الله تبارك وتعالى أن يحكموا فيه أرأيت قول الله تبارك وتعالى يا أيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم ومن قتله منكم متعمدا فجزاء مثل ما قتل من النعم يحكم به ذوا عدل منكم : المائدة 95 

Aku (Ibnu Abbas) berkata: "Bagaimana menurut kalian jika aku membacakan kitabullah dan sunnah Nabi-Nya yang akan membantah pendapat kalian? apakah kalian akan kembali (taubat)?". Mereka berkata: "Ya".

Aku katakan: “Adapun perkataan kalian bahwa Ali bin Abi Thalib telah menetapkan hukum dalam perkara Allah, aku akan bacakan Kitabullah kepada kalian bahwa Allah telah menyerahkan hukum kepada manusia dalam seperempat dirham. Allah Tabaraka wa Ta’ala memerintahkan untuk berhukum kepada manusia dalam hal ini. 

Tidakkah kalian membaca firman Allah Tabaraka wa Ta’ala: 'Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh hewan buruan dalam keadaan berihram. Barang siapa yang membunuhnya di antara kamu secara sengaja, maka dendanya adalah menggantinya dengan hewan yang seimbang dengannya, menurut putusan hukum dua orang yang adil di antara kamu.' (QS. Al-Maidah [5]: 95)."

وكان من حكم الله انه صيره إلى رجال يحكمون فيه ولو شاء يحكم فيه فجاز من حكم الرجال أنشدكم بالله أحكم الرجال في صلاح ذات البين وحقن دمائهم أفضل أو في أرنب قالوا بلى هذا أفضل وفي المرأة وزوجها وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها ( النساء 35 ) فنشدتكم بالله حكم الرجال في صلاح ذات بينهم وحقن دمائهم افضل من حكمهم في بضع امرأة خرجت من هذه قالوا نعم 

“Ini di antara hukum Allah yang Allah serahkan putusannya kepada manusia. Andaikan Allah mau, tentu Allah bisa memutuskan saja hukumnya. Namun Allah membolehkan berhukum kepada manusia. 

Demi Allah aku bertanya kepada kalian, apakah putusan hukum seseorang dalam mendamaikan suami-istri yang bertikai atau dalam menjaga darah kaum muslimin itu lebih penting daripada masalah daging kelinci? Mereka menjawab: “Iya, tentu itu lebih penting”.

Dalam masalah pertikaian suami istri: “Dan bila kamu mengkhawatirkan perceraian antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim (penengah yang memberi putusan) dari keluarga laki-laki dan seorang penengah dari keluarga wanita.” (QS. An-Nisa` [4]: 35). 

Demi Allah telah aku bacakan kepada kalian diperintahkannya berhukum kepada manusia dalam mendamaikan suami-istri yang bertikai dan dalam menjaga darah mereka, dan itu lebih afdhal daripada hukum yang diputuskan beberapa wanita. Apakah alasanmu sudah terjawab dengan ini?" Mereka menjawab: "Ya."

قلت وأما قولكم قاتل ولم يسب ولم يغنم أفتسبون أمكم عائشة تستحلون منها ما تستحلون من غيرها وهي أمكم فإن قلتم إنا نستحل منها ما نستحل من غيرها فقد كفرتم وان قلتم ليست بأمنا فقد كفرتم النبي أولى بالمؤمنين من أنفسهم وأزواجه أمهاتهم ( الأحزاب 6 ) فأنتم بين ضلالتين فأتوا منها بمخرج افخرجت من هذه قالوا نعم 

“Aku berkata: “Adapun perkataan kalian bahwa Ali berperang (melawan ‘Aisyah) namun tidak mengambil tawanan dan ghanimah, saya bertanya, apakah kalian akan menawan ibu kalian ‘Aisyah? Apakah ia halal bagi kalian sebagaimana tawanan lain halal bagi kalian? Jika kalian katakan bahwa ia halal bagi kalian sebagaimana halalnya tawanan yang lain, maka kalian telah kafir. Atau jika kalian katakan ia bukan ibumu, kalian juga kafir.

‘Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka (kaum mukminin)‘ (QS. Al-Ahzab [33]: 6). Maka kalian berada di antara dua kesesatan, coba kalian pilih salah satu? Apakah ini sudah menjawab alasan kalian?”. Mereka menjawab: “Ya”.

وأما محي نفسه من أمير المؤمنين فأنا آتيكم بما ترضون إن نبي الله يوم الحديبية صالح المشركين فقال لعلي اكتب يا علي هذا ما صالح عليه محمد رسول الله قالوا لو نعلم انك رسول الله ما قاتلناك فقال رسول الله امح يا علي اللهم انك تعلم إني رسول الله امح يا علي واكتب هذا ما صالح عليه محمد بن عبد الله والله لرسول الله ﷺ خير من علي وقد محى نفسه ولم يكن محوه نفسه ذلك محاه من النبوة أخرجت من هذه قالوا نعم 

“Ibnu Abbas berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali menghapus gelar Amirul Mukminin darinya, maka aku akan sampaikan hal yang kalian ridhai. Bukankah Nabi pada peristiwa Hudaibiyah membuat perjanjian dengan kaum Musyrikin. 

Saat itu Rasulullah berkata kepada Ali, “Tulislah wahai Ali, ini adalah perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad Rasulullah”. Namun kaum musyrikin berkata, “Tidak! andai kami percaya bahwa engkau Rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu”. Maka Rasulullah bersabda, “Kalau begitu hapuslah tulisan ‘Rasulullah’ wahai Ali. Ya Allah, sungguh Engkau Maha Mengetahui bahwa aku adalah Rasul-Mu. Hapus saja, wahai Ali. Dan tulislah, ini adalah perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad bin Abdillah”. 

Rasulullah tentu lebih utama daripada Ali, dan beliau sendiri pernah menghapus gelar ‘Rasulullah’. Namun penghapusan gelar tersebut ketika itu tidak menghapus kenabian beliau. Apakah alasan kalian sudah terjawab?”. Mereka berkata: “ya”.

فرجع منهم ألفان وخرج سائرهم فقتلوا على ضلالتهم قتلهم المهاجرون والأنصار 

Ibnu Abbas berkata, “Maka bertaubatlah sekitar dua ribu orang di antara mereka, dan sisanya tetap memberontak. Mereka akhirnya terbunuh dalam kesesatan mereka. Mereka dibunuh oleh kaum Muhajirin dan Anshar”.

Upaya Khalifah Ali menyadarkan kaum Khawarij

Dua ribu orang yang bertaubat itu pun ikut berangkat ke Kuffah bersama Ibnu Abbas untuk bergabung dengan rombongan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. 

Kemudian khalifah Ali menemui sisa kelompok Khawarij yang menolak untuk kembali dan belum bertaubat. Ketika Ali bin Abi Thalib datang, mereka menyangka bahwa Ali telah berpihak kepada mereka. Mereka beranggapan bahwa Ali telah bertaubat dari kesalahannya dan menarik kembali keputusan tahkim sebelumnya. 

Mereka pun menyebarkan isu ini di tengah masyarakat. Hingga Al-Asy’as bin Qais Al-Kindi menemui khalifah Ali menyampaikan informasi: “masyarakat membicarakan bahwa Anda telah kembali bertaubat dari kekufuran.” 

Keesokan harinya (pada hari Jum’at), khalifah Ali berkhutbah berkenaan tentang sikap orang-orang yang memisahkan diri dari negara. Beliau mencela habis-habisan orang yang berpecah belah. Setelah beliau turun dari mimbar, beberapa orang di sudut masjid berteriak:

لَا حُكۡمَ إِلَّا لِلّٰهِ

“Tidak ada hukum selain milik Allah!”

Khalifah Ali menjawab: “Hukum Allah akan diterapkan untuk kalian.” Lalu beliau berisyarat dengan tangannya menyuruh mereka diam. Hingga ada salah satu dari Khawarij yang maju sambil menyumbat telinganya dan membaca firman Allah: 

لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الۡخٰسِرِينَ ٦٥ 

“Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar [39]: 65). 

Khalifah Ali pun menjawab dengan firman Allah: 

فَاصۡبِرۡ إِنَّ وَعۡدَ اللَّهِ حَقٌّۖ وَلَا يَسۡتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لَا يُوۡقِنُوۡنَ ٦٠ 

“Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (QS. Ar-Rum [30]: 60). 

Riwayat tersebut ditulis dalam kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah halaman 734.

Setelah khalifah Ali merasa bahwa mereka tidak mungkin lagi untuk disadarkan, beliau membuat pernyataan sebagai berikut:

إن لكم عندنا ثلاثًا: لا نمنعكم صلاةً في هذا المسجد، ولا نمنعكم نصيبكم من هذا الفيء ما كانت أيديكم مع ‏أيدينا، ولا ‏نقاتلكم حتى تقاتلونا

“Kalian memiliki 3 hak terhadap kami, [1] kami tidak melarang kalian untuk shalat di masjid ini, [2] kami tidak menghalangi kalian untuk mengambil harta rampasan perang selama kalian ikut berjihad bersama kami, [3] kami tidak akan memerangi kalian, hingga kalian memerangi kami.” (At-Thabari, Tarikh al-Umam wal-Muluk, 3/114).

Pemilihan pemimpin Khawarij

Akhirnya para Khawarij ini berkumpul pada tanggal 10 Syawal 37 H, untuk menentukan pemimpin mereka. Mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi. Dia pun berkhutbah di hadapan mereka, dengan khutbah yang sangat memotivasi untuk zuhud terhadap dunia, berharap akhirat, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan menjauhkan diri dari masyarakat yang penduduknya zalim ini (yaitu Ali dan rakyatnya). Sebagai bentuk pengingkaran terhadap hukum yang menyimpang—menurut kebodohan mereka.‎ 

Mereka kemudian menunjuk Zaid bin Hishn At-Thai (pemimpin gembong anti-Ali), tapi dia menolak. Lalu menunjuk Huqus bin Zuhair, dia juga menolak, lalu Hamzah bin Sinan, dan dia juga menolak. Lalu ditawarkan kepada Abu Aufa Al-Absy, dia juga menolak.

Hingga akhirnya ditawarkan kepada Abdullah bin Wahb dan dia menerimanya. Ia berasal dari salah satu suku yang terkenal, yaitu Bani Rasib. Ketika menerima tawaran itu, dia mengatakan, 

أما والله لا أقبلها رغبةً في الدنيا ولا أدعها فَرَقًا من الموت 

"Demi Allah, aku tidak menerimanya karena berharap dunia, dan aku juga tidak menolaknya karena lari dari kematian." (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan-Nihayah, 7/316).

Dalam satu kesempatan perkumpulan mereka, Zaid bin Hishn At-Thai berkhutbah ‎menasihati mereka dengan membaca beberapa firman Allah, di antaranya, 

يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةً فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ... ٢٦ 

"Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..." (QS. Shad [38]: 26). 

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤ 

“... Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah [5]: 44). 

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلٰٓئِكَ هُمُ ٱلظّٰلِمُونَ  ٤٥ 

“... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5]: 45). 

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ  ٤٧ 

“... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah [5]: 47). 

Lalu ia melanjutkan khutbahnya: “Saya bersaksi bahwa para ahli kiblat (kaum muslimin) telah mengikuti hawa nafsu, membuang hukum Allah dan berbuat zalim dalam ucapan dan perbuatan mereka.”

Salah seorang orang khawarij yang mendengar pun menangis dan memotivasi orang-orang di sekitarnya untuk memberontak terhadap Ali dan para sahabat dengan berkata:

اضربوا وجوههم وجباههم بالسيوف حتى يطاع الرحمن الرحيم، فإن أنتم ظفرتم وأطيع الله كما أردتم أثابكم ثواب ‏المطيعين له العاملين ‏بأمره 

"Tebaslah wajah dan dahi mereka dengan pedang, hingga Dzat yang Maha ar-Rahman ar-Rahim kembali ditaati. Apabila kalian menang dan aku menaati Allah sebagaimana yang kalian inginkan, Allah akan memberikan pahala kepada kalian seperti ‎pahala orang yang taat kepada-Nya, mengamalkan perintah-Nya!"

Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menyebutkan kisah mereka, beliau berkomentar, 

وهذا الضرب من الناس من أغرب أشكال بني آدم، فسبحان من نوّع خلقه كما أراد، وسبق في قدره العظيم‏ 

"Ini adalah contoh manusia yang paling aneh dari keturunan Adam. Maha Suci ‎Allah yang menciptakan jenis makhluk-Nya ini seperti yang Dia kehendaki. Semua telah ‎didahului oleh takdir-Nya yang agung." (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan-Nihayah, 7/316).

Perang Nahrawan

Kaum Khawarij pun sepakat untuk keluar dari wilayah Ali. Mereka pergi diam-diam satu per satu menuju tempat yang disepakati, yaitu Nahrawan untuk menyusun kekuatan.

Di tengah perjalanan menuju Nahrawan, beberapa rombongan Khawarij bertemu dengan seorang dari kalangan tabi’in, yaitu Abdullah bin Khabbab Al-Aratt Al-Madani. Mereka pun membunuhnya. Mereka juga membunuh budak milik Abdullah bin Khabbab yang tengah hamil. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 38 H.

Setelah berita itu sampai kepada Khalifah Ali, beliau pun mengirim 4.000 pasukan ke Nahrawan. Ketika pasukan Khalifah sudah dekat, dikirimlah utusan ke kaum Khawarij untuk menyerahkan pelaku pembunuhan Abdullah bin Khabbab. Kaum Khawarij pun mengirim utusan bahwa mereka semua bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut. Ini adalah suatu bentuk perlawanan terhadap Khalifah Ali. Mereka pun dinasihati oleh Khalifah Ali agar mereka bertaubat. Sebagian dari mereka bertaubat, namun sebagian lain tetap pada pendirian mereka.

Setelah itu terjadilah peperangan antara pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib melawan pasukan Khawarij yang dipimpin oleh Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi. Peperangan tersebut dimenangkan oleh pasukan Khalifah Ali dan beliau berhasil membunuh pimpinan Khawarij, Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi.

Tidak sampai 10 orang dari pasukan Khalifah Ali yang syahid dalam perang itu. Sebaliknya, pasukan kaum Khawarij justru hanya tersisa 9 orang saja. Sembilan orang tersebut melarikan diri ke beberapa wilayah. Dua orang ke Sijistan, dua orang ke Yaman, dua orang ke Oman, dua orang ke Jazirah (antara Dijlah dan sungai Eufrat dekat Syam) sedangkan satu orang sisanya melarikan diri ke Tallu Muzan. Mereka semua mengembangkan akidah Khawarij di daerah-daerah tersebut. Sehingga lahirlah kelompok Khawarij dengan berbagai sekte dan ideologi, namun tetap mempertahankan aqidah pokok mereka.

(Lihat kitab Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’id Raslan, Dirasatun fil Bid’ati wal Mubtadi`in, Daarul Minhaj, cetakan I (1436H), hal. 149-152).

Wallahu A’lam bis-Shawab...

* * *

Demikian sejarah kemunculan kelompok Khawarij dan penyimpangan akidah yang mereka lakukan.


Baca artikel ini versi PDF di Academia, klik di sini.

Post a Comment

0 Comments