Perang Jamal dan Shiffin (Part 1)


Sejarah Islam mencatat peristiwa pecahnya konflik internal yang menimbulkan perang saudara pertama yang terjadi antara orang beriman. Peristiwa itu menyebabkan pecahnya perang Jamal (36 H) antara Ali bin Abi Thalib melawan Aisyah yang bersekutu dengan Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam radhiallahu ‘anhum. Kemudian disusul dengan Perang Shiffin (37 H) antara Ali bin Abi Thalib melawan Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhum.

Baik Perang Jamal maupun Perang Shiffin, keduanya sama-sama dipicu oleh peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Syahidnya Khalifah Utsman ternyata dimanfaatkan oleh beberapa kelompok yang memiliki kepentingan masing-masing. Sedangkan Khalifah sesudahnya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dipaksa menanggung segala fitnah perpecahan dan kekacauan yang terjadi di kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kebanyakan umat Islam salah kaprah dalam memahami peristiwa Perang Jamal. Banyak yang akhirnya bingung menilai pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah. Karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam urusan aqidah, logika yang dibangun harus tegas dan jelas, antara benar-salah, halal-haram atau hitam-putih. Tidak ada sisi abu-abu dalam hal aqidah.

Sehingga beberapa umat Islam ketika menyatakan bahwa pihak Ali yang benar, maka otomatis pihak Aisyah dan Mu’awiyah yang salah. Ini adalah pemahaman yang keliru. Kekeliruan ini diakibatkan karena salah perspektif dalam melihat fitnah tersebut. Maka, untuk meluruskan cara pandang kita terhadap masalah ini, berikut adalah ringkasan peristiwa yang terjadi dalam Perang Jamal dan Perang Shiffin.

Ringkasan Perang Jamal

Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman radhiallahu 'anhu, orang-orang mendatangi Ali di Madinah dan mendesak Ali untuk menjadi khalifah supaya menghindari pertikaian dan perpecahan. Di antara orang-orang yang membaiat Ali adalah Thalhah bin Ubaydillah dan Zubair bin Awwam radhiallahu ‘anhum.

Setelah itu, Thalhah dan Zubair pergi ke Makkah untuk melaksanakan umrah. Di sana mereka ditemui oleh Aisyah radhiallahu ‘anha dan berbincang-bincang tentang terbunuhnya Utsman. Setelah itu, Thalhah dan Zubair pergi ke Bashrah dan meminta Ali untuk menyerahkan pelaku pembunuhan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Namun Ali tidak menjawab tuntutan mereka karena keluarga Utsman belum meminta putusan hukum darinya. Jika ada orang yang terbukti melakukan pembunuhan tersebut, maka Khalifah yang akan menjatuhkan qishash.

Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dalam kitabnya Al-‘Awaashim minal Qawaashim berpendapat, “Sesungguhnya mereka berangkat ke Bashrah untuk mengadakan perdamaian di antara kaum muslimin.” Beliau berkata, “Inilah yang benar, dan bukan untuk tujuan selain itu, dan hal ini didukung oleh berbagai kabar shahih yang menjelaskannya.”

Para pelaku pembunuhan Utsman pun merasa takut jika mereka diperangi oleh Ali dan Aisyah. Akhirnya mereka menyusun rencana untuk mengadu domba mereka. Lihat penjelasan rincinya oleh Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kitab Fathul Baari (XIII/54-59).

Untuk melancarkan rencananya, di sini terdapat peran besar seorang munafik bernama Abdullah bin Saba’. Ia mengirim berita kepada Khalifah Ali bahwa di Madinah, Aisyah telah menyusun pasukan untuk memberontak. Otomatis Khalifah Ali pun mempersiapkan pasukan untuk merespons berita pemberontakan tersebut.

Namun di sisi lain, Abdullah bin Saba’ justru membentuk pasukan dan menyerang Thalhah dan Zubair, sehingga mereka mengira bahwa Ali telah menyerang mereka. Thalhah dan Zubair pun membentuk pasukan untuk pertahanan dan beraliansi dengan Aisyah radhiallahu ‘anha. Dengan demikian, kabar yang diterima oleh Khalifah Ali yaitu: Thalhah dan Zubair telah bersekutu dengan Aisyah dan akan menyerang Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Abdullah bin Saba’ juga mengirim berita ke pihak Aisyah bahwa Ali akan menyerang Aisyah atas tuduhan pemberontakan. Maka Aisyah, Thalhah dan Zubair radhiallahu ‘anhum dan pasukannya berangkat untuk menghadang pasukan Khalifah Ali. Karena masing-masing pihak tidak ada keinginan untuk berperang, maka setelah mereka bertemu, mereka pun melakukan perundingan. Akhirnya, mereka sadar bahwa mereka telah diadu domba.

Yang tidak mereka sadari, ternyata Abdullah bin Saba’ telah menyusupkan pasukannya sendiri di kedua belah pihak. Pasukan itu pun mulai mengacungkan senjata, saling provokasi dan saling serang sehingga peperangan pun tak terhindarkan.

Sedangkan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha walaupun hadir di medan perang, beliau hanya menunggang unta dan tidak ikut dalam peperangan juga tidak memerintahkan penyerangan. Demikianlah yang diungkapkan oleh lebih dari seorang ulama dan ahli sejarah. (Minhajus-Sunnah, II/185).

Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya ‘Aisyah tidak pergi untuk berperang, beliau pergi hanya untuk melakukan perdamaian di antara kaum muslimin, dan beliau mengira bahwa kepergiannya itu mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin, kemudian setelah itu beliau sadar bahwa tidak keluar adalah lebih utama. Maka jika beliau mengingat kepergiannya itu, beliau menangis sehingga kerudungnya basah, dan demikianlah kebanyakan Salaf, mereka merasa menyesal atas peperangan yang mereka lakukan. Maka Thalhah, az-Zubair dan ‘Ali pun merasa menyesal radhiallahu ‘anhum.”

Pada peristiwa Perang Jamal, baik Khalifah Ali, Aisyah, Thalhah dan Zubair, tidak ada satu pun dari mereka yang menginginkan peperangan. Mereka justru ingin mengadakan perdamaian demi persatuan dan kemaslahatan umat.

Ringkasan Perang Shiffin

Setelah dua tahun masa jabatan Khalifah Ali, gubernur Damaskus, yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan (sepupu Utsman bin Affan) radhiallahu ‘anhum merasa belum puas dengan kinerja kepemimpinan Khalifah Ali. Ia menilai bahwa Khalifah terlalu lamban dalam menangani kasus pembunuhan Khalifah Utsman. Mu’awiyah pun menuntut agar Ali segera menuntaskan kasus tersebut, atau Ali sendiri yang harus bertanggung jawab.

Tak kunjung ada solusi, Mu’awiyah berencana menggulingkan sekaligus menggantikan Khalifah Ali, maka terjadilah perang Shiffin pada tahun 37 H (657 M) di tepi barat sungai Eufrat. Khalifah Ali membawa 5000 pasukan dari Kuffah dan Mu’awiyah membawa 4000 pasukan. Dua sahabat senior dan disegani ini pun bentrok memperebutkan kekuasaan.

Ketika pasukan Mu’awiyah di ambang kekalahan, Amru bin Ash yang ada di pihak Mu’awiyah pun meletakkan mushaf al-Quran di ujung tombaknya sebagai tanda bahwa peperangan harus dihentikan dan diselesaikan dengan perundingan atas dasar Kitabullah.

Dalam proses perundingan (arbitrase/tahkim) itu, masing-masing pihak mengutus negosiator. Khalifah Ali mengutus Abu Musa Al-Asy’ari sedangkan Mu’awiyah mengutus Amru bin Ash radhiallahu ‘anhum.

Perundingan ini terjadi setelah dua tahun masa peperangan, yaitu pada tahun 39 H (659 M) di kawasan Ardhuh, jalan utama yang menghubungkan Madinah dan Damaskus. Perundingan tersebut dihadiri oleh 400 orang. Tidak ada bukti faktual-ilmiah tentang hasil perundingan ini. Namun yang jelas adalah Mu’awiyah akhirnya dipilih sebagai Khalifah sesudah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.

Dalam dialog antara Abu Musa dan Amru bin Ash, Abu Musa mengusulkan untuk mencopot jabatan Khalifah Ali dan Mu’awiyah. Usul tersebut diterima oleh Amru bin Ash. Berikutnya, Amru bin Ash meminta Abu Musa untuk berbicara kepada masyarakat terlebih dahulu dengan alasan bahwa Abu Musa lebih tua dan lebih dahulu masuk Islam.

Sebelum Abu Musa berbicara, Ibnu Abbas yang juga di pihak Ali menasihati Abu Musa bahwa dirinya telah dipermainkan oleh Amru bin Ash. Amru bin Ash memang sejak dahulu dikenal sebagai sahabat Nabi yang ahli dalam diplomasi dan negosiasi. Inilah yang membuat Ibnu Abbas memperingatkan Abu Musa untuk tidak terjebak dalam perangkap Amru bin Ash, namun Abu Musa tidak menerima nasihat tersebut.

Abu Musa pun berbicara di hadapan pasukan Ali dan Mu’awiyah: “Kami berdua telah mencapai kesepakatan yang kami nilai sebagai kesepakatan terbaik untuk umat, yaitu masing-masing kami harus mencopot Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah dari jabatan Khalifah. Setelah itu kami akan serahkan kepada umat Islam untuk memilih Khalifah yang mereka kehendaki. Dengan ini, saya nyatakan untuk mencopot Ali bin Abi Thalib dari jabatan Khalifah.”

Dalam kesempatan ini, perkataan Ibnu Abbas terbukti benar. Ketika tiba giliran Amru bin Ash yang berbicara, ia berkata:

“Kalian telah dengar sendiri, Abu Musa Al-Asy’ari telah mencopot jabatan Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan saya juga sepakat untuk mencopotnya. Maka, mulai saat ini saya menyatakan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai Khalifah yang memimpin umat ini. Mu’awiyah adalah pelanjut kekuasaan Utsman bin ‘Affan dan lebih berhak menggantikannya!”

Demikianlah proses arbitrase/tahkim yang terjadi antara kubu Ali bin Abi Thalib dan kubu Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma dalam memperebutkan kursi Khalifah. Para ulama menyebutkan bahwa peristiwa itu menimbulkan fitnah yang besar.

Karena setelah perundingan tersebut, muncullah kelompok sesat Syi’ah dan Khawarij. Syi'ah adalah kelompok yang sangat mengagungkan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, mereka mengkafirkan siapa saja yang pernah berseteru melawan Ali, termasuk Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu 'anhu dan Aisyah radhiallahu 'anha. Bahkan Syi'ah Rafidhah juga mengkafirkan Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatthab radhiallahu 'anhuma.

Sedangkan kelompok Khawarij adalah kelompok yang "keluar" dari hasil kesepakatan arbitrase yang dilangsungkan setelah perang Shiffin. Mereka mengkafirkan setiap orang yang menyetujui hasil arbitrase tersebut.

Baca juga: Sejarah Penyimpangan Khawarij

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu wafat dibunuh oleh salah satu pengikut Khawarij yang bernama Ibnu Muljam. Husein bin Ali bin Abi Thalib juga terbunuh dengan kepala terpenggal pada tragedi Perang Karbala tanggal 10 Muharram tahun 61 H dalam pertempuran yang sangat tidak seimbang.

Sejak saat itu pula persoalan perang Shiffin dalam pandangan kaum Khawarij bergeser menjadi persoalan aqidah dengan kesimpulan bahwa Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah adalah kafir, begitu pula orang-orang yang menerima putusan tahkim tersebut.

Memahami Fitnah Perang Shiffin

Abu Al-Hasan Al-Asy’ari secara tegas mengatakan dalam kitabnya Maqalatul Islamiyin: “Kasus pertama yang memecah belah umat Islam adalah masalah kepemimpinan (politik).”

Statement itu sangat tegas dan berani, namun dapat membantu kita dalam memahami persoalan ini lebih jernih. Ada dua alasan yang harus kita cermati:

Pertama, jika kita melihat Perang Shiffin sebagai persoalan aqidah, maka kita hanya bisa melihat benar-salah, haq-bathil atau mukmin-kafir. Kita tidak bisa membenarkan keduanya atau menyalahkan keduanya. Karena dalam persoalan aqidah, logika yang dibangun harus jelas dan tegas. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan:

الأَصۡلُ فِي الۡعِبَادَاتِ التَّحۡرِيم

“Hukum ibadah pada dasarnya adalah haram, kecuali ada dalil yang memerintahkannya.”

Selain itu, jika kita masih melihat masalah ini sebagai masalah aqidah, maka kita akan terjebak dalam ide-ide kaum Syi'ah dan Khawarij, yakni mengkafirkan salah satu atau kedua belah pihak. Padahal antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah adalah dua orang sahabat senior Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Terlebih lagi Khalifah Ali bin Abi Thalib, beliau adalah Ahlul Bait, sepupu sekaligus menantu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kalangan ulama hadits Kutubus-Sittah saja tidak ada yang berani mengatakan bahwa hadits dari jalur Ali dan Mu’awiyah adalah dha’if. Artinya, bahwa di kalangan ulama hadits yang hidup 20-30 tahun pasca Perang Shiffin masih mengakui keimanan dan sifat ‘adil dari mereka berdua (Ali dan Muawiyah).

Kutubus-Sittah (Enam kitab hadits): Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa`i dan Ibnu Majah.

Kedua, kita harus melihat Perang Shiffin semata-mata sebagai masalah sosial politik antar para sahabat, bukan masalah akidah. Dalam terminologi generasi setelahnya muncul istilah fiqh mu’amalah, siyasah dan lainnya. Kaidah yang dibangun dalam masalah mu’amalah (sosial) dan siyasah (politik) adalah mubah (boleh), sebagaimana disebutkan dalam kaidah Ushul Fiqh:

الأَصۡلُ فِي الۡأَشۡيَاءِ الۡإِبَاحَة حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحۡرِيمِ .

“Hukum segala sesuatu (muamalah) adalah mubah (boleh), kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” 

Kasus Perang Shiffin jika ditelusuri tidak ada satu pun ayat yang secara qath’i (jelas/tegas/pasti) mengharamkan peperangan tersebut. Bahkan dalam al-Quran jika ada dua orang mukmin yang berperang, Allah masih menganggap mereka sebagai orang mukmin apabila sebab peperangan tersebut bukan masalah aqidah.

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي حَتَّىٰ تَفِيٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ فَإِن فَآءَتۡ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَا بِٱلۡعَدۡلِ وَأَقۡسِطُوٓاْۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ  ٩

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai mereka kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah kembali, damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat [49]: 9).

Dengan demikian, sebaiknya kita berhati-hati dalam mengkafirkan orang lain. Jangan mengkafirkan orang lain hanya karena mereka memiliki pandangan politik yang berbeda, jangan dianggap munafik dan jangan pula dianggap murtad.

Allahu A'lam...

Bersambung ke Part 2: Sikap para Ulama dan Netralitas Sahabat.


Post a Comment

0 Comments