Perang Jamal dan Shiffin (Part 2): Sikap Para Ulama dan Netralitas Sahabat


Para ulama terdahulu selalu bersikap mauquf ‘anhu, yakni tidak berkomentar apa pun terkait konflik tersebut. Untuk lebih mudah, kita ikuti saja pendapat Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, bahwa Perang Shiffin adalah murni persoalan politik, bukan persoalan aqidah. Jadi apa pun yang terjadi dalam peperangan tersebut tidak membuat kita mengkafirkan salah satu atau kedua belah pihak. Maka kita akan tetap menganggap mereka sebagai orang mukmin yang benar imannya, hanya saja mereka memiliki ijtihad politik yang berbeda.

Baca artikel sebelumnya: Perang Jamal dan Shiffin (Part 1)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

تَمۡرُقُ مَارِقَةٌ عِنۡدَ فُرۡقَةٍ مِنَ الۡمُسۡلِمِينَ يَقۡتُلُهَا أَوۡلَى الطَّائِفَتَيۡنِ بِالۡحَقِّ .

"Akan keluar suatu golongan yang menyempal ketika terjadi pertikaian di antara kaum muslimin. Kelompok itu akan diperangi oleh kelompok yang lebih mendekati kebenaran dari dua kelompok (yang bertikai itu)." (Shahih Muslim: 1065).

Golongan yang menyempal itu adalah Khawarij. Dan pasukan yang memeranginya adalah pasukan Ali bin Abi Thalib dalam perang besar di Nahrawan.

Berikut kami cantumkan pendapat-pendapat para ulama dalam menyikapi peristiwa Perang Jamal dan Perang Shiffin.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Shahih Muslim (VII/168): “Riwayat-riwayat ini secara tegas menjelaskan, bahwa Ali radhiallahu ‘anhu berada di pihak yang benar. Sementara kelompok lain, para pengikut Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu tergolong kelompok yang menyempal, karena takwil keliru. Hadits itu juga menjelaskan, kedua kelompok tersebut tergolong mukmin, tidak keluar dari lingkaran keimanan karena perang tersebut, dan tidak pula disebut fasik. Itulah pendapat kami.”

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa (IV/467): “Hadits ini, secara tegas menunjukkan bahwa kedua kelompok yang berperang itu, yakni Ali dan orang-orang yang menyertainya, serta Mu’awiyah dan orang-orang yang menyertainya, berada di atas kebenaran. Dan sesungguhnya, Ali dan sahabat-sahabatnya lebih mendekati kebenaran daripada Mu’awiyah dan sahabat-sahabatnya.” (Ibnul Arabi juga mengeluarkan pernyataan senada dalam kitab Al-Awashim hlm. 307)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab Al-Bidayah wan-Nihayah (X/563) berkata: “Hadits ini termasuk mu’jizat kenabian, sebab benar-benar telah terjadi seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di dalamnya juga disebutkan, kedua kelompok yang bertikai itu, yakni penduduk Syam dan penduduk Iraq, masih tergolong muslim. Tidak seperti anggapan kelompok Rafidhah, orang-orang jahil lagi zalim, yang mengkafirkan penduduk Syam. Dalam hadits itu juga disebutkan, kelompok Ali paling mendekati kebenaran; itulah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yakni Ali berada di pihak yang benar, dan Mu’awiyah memeranginya karena ijtihad yang keliru, dan ia berhak mendapat satu pahala atas kesalahan ijtihad itu, in-sya Allah. Sedangkan Ali radhiallahu ‘anhu adalah imam yang sah, berada di pihak yang benar in-sya Allah, dan berhak mendapat dua pahala”.

Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah, yaitu memandang bahwa Ali radhiallahu ‘anhu berada di pihak yang benar. Adapun Mu’awiyah yang memerangi Ali telah salah dalam ijtihadnya, dan ia mendapat satu pahala atas kesalahan ijtihadnya tersebut, in-sya Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari hadits Amru bin Ash radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 

إِذَا حَكَمَ الۡحَاكِمُ فَاجۡتَهَدَ ثُـمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجۡرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجۡتَهَدَ ثُـمَّ أَخۡطَأَ فَلَهُ أَجۡرٌ .

“Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala.” (Shahih Al-Bukhari: 7352 dan Muslim: 1716).

Hadits di atas lebih dijelaskan lagi dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقۡتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ وَتَكُونُ بَيۡنَهُمَا مَقۡتَلَةٌ عَظِيمَةٌ وَدَعۡوَاهُمَا وَاحِدَةٌ .

“Tidak akan datang hari Kiamat hingga muncul dua kelompok yang saling berperang dan akan terjadi pertumpahan darah yang hebat, sedangkan dakwah keduanya sama.” (Shahih Al-Bukhari: 3609 dan Muslim: 157).

Hadits ini menjelaskan hadits sebelumnya, Imam Ibnu Katsir berkata di dalam Al-Bidayah wan-Nihayah (IX/192): “Kedua kelompok itu adalah dua kelompok yang terlibat dalam peperangan Jamal dan Shiffin. Karena kala itu, dakwah kedua kelompok tersebut sama. Yakni sama-sama menyeru kepada Islam. Mereka hanya berselisih pendapat tentang masalah kekuasaan dan dalam menetapkan maslahat bagi umat dan segenap rakyat. Tidak terlibat dalam peperangan itu adalah lebih utama daripada melibatkan diri ke dalamnya. Itulah madzhab jumhur sahabat.”

Berkaitan dengan larangan mencampuri pertikaian besar di antara sahabat, Ibnu Baththah rahimahullah berkata: "Kita harus menahan diri dari pertikaian yang terjadi di antara sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan telah mendahului yang lainnya dalam hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka dan memerintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka, dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan Rasul-Nya. Allah Maha Tahu apa yang bakal terjadi bahwa mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada yang lainnya, karena segala kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua pertikaian yang terjadi di antara mereka telah diampuni.

Janganlah lihat komentar-komentar negatif tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa di kediaman Bani Sa’idah dan pertikaian-pertikaian lain yang terjadi di antara mereka. Janganlah engkau tulis untuk dirimu atau untuk orang lain. Janganlah engkau riwayatkan dari seorang pun, dan jangan pula membacakannya kepada orang lain, dan jangan pula mendengarkannya dari orang yang meriwayatkannya. Itulah perkara yang disepakati oleh para ulama umat ini.

Mereka sepakat melarang perkara yang kami sebutkan ini. Di antara ulama-ulama tersebut adalah: Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi’b, Ibnul Munkadir, Ibnul Mubarak, Syu’aib bin Harb, Abu Ishaq al-Fazari, Yusuf bin Asbath, Ahmad bin Hanbal, Bisyr bin al-Harits dan Abdul Wahhab al-Warraq, mereka semua sepakat melarangnya, melarang melihat dan mendengar komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka memperingatkan orang yang membahas dan berupaya mengumpulkannya. Banyak sekali perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka yang ditujukan kepada orang-orang yang melakukannya, dengan lafal bermacam-macam namun maknanya senada; intinya membenci dan mengingkari orang yang meriwayatkan dan mendengarnya."

(Sumber: Al-Ibanah, karya Ibnu Baththah, halaman 268. Untuk penjelasan lebih lengkap, silakan lihat kitab As-Sunnah, karya Al-Khallal. Beliau telah menulis sebuah bab dalam kitab tersebut tentang teguran keras terhadap orang yang menulis riwayat-riwayat yang berisi hujatan terhadap sahabat Nabi).

Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya tentang perang Shiffin dan perang Jamal, beliau menjawab: “Urusan yang Allah telah menghindarkan tanganku darinya, maka aku tidak akan mencampurinya dengan lisanku!” (As-Sunnah, Al-Khallal halaman 717).

Al-Khallal meriwayatkan dari jalur Abu Bakar al-Marwadzi, ia berkata: “Ada yang berkata kepada Abu Abdillah, ketika itu kami berada di tengah pasukan dan kala itu datang pula seorang utusan Khalifah, yakni Ya’qub, ia berkata: “Wahai Abu Abdillah, apa komentar Anda tentang pertikaian yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah?” Abu Abdillah menjawab, ”Aku tidak mengatakan kecuali yang baik, semoga Allah merahmati mereka semua.” (As-Sunnah, Al-Khallal halaman 713).

Dalam kitab Aqidah Wasithiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ahlus Sunnah wal Jama’ah menahan diri dari memperbincangkan pertikaian di antara para sahabat. Mereka mengatakan, riwayat-riwayat yang dinukil tentang kejelekan mereka, sebagiannya ada yang dusta, ada yang ditambah-tambah dan dikurangi serta diubah dari bentuk aslinya. Berdasarkan sikap yang benar, para sahabat dimaafkan kesalahannya. Mereka itu adalah alim mujtahid, yang kadang kala benar dan kadang kala salah.”

Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam kitab Al-Ibanah mengatakan: “Adapun yang terjadi antara Ali, Zubair dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anhum adalah bersumber dari takwil dan ijtihad. Ali adalah pemimpin, sedangkan mereka semua termasuk ahli ijtihad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjamin mereka masuk surga dan mendapat syahadah (mati syahid). Itu menunjukkan bahwa ijtihad mereka benar. Demikian pula yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhuma juga bersumber dari takwil dan ijtihad. Semua sahabat adalah imam dan orang-orang yang terpercaya, bukanlah orang yang diragukan agamanya.”

Al-Qadhi Iyadh berkata dalam karyanya, Syarah Shahih Muslim: “Mu’awiyah termasuk sahabat yang shalih dan termasuk sahabat yang utama. Adapun peperangan yang terjadi antara dirinya dengan Ali, dan pertumpahan darah yang terjadi di antara para sahabat, maka sebabnya adalah takwil dan ijtihad. Mereka semua berkeyakinan bahwa ijtihad mereka tepat dan benar.”

Sikap Netral Sahabat dalam Perang Jamal dan Shiffin

Tidak semua sahabat ikut terlibat dalam Perang Jamal dan Perang Shiffin. Bahkan lebih banyak di antara mereka yang memilih untuk tidak memihak. Misalnya Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhuma yang memilih fokus belajar, berdakwah dan mengajarkan Islam.

Sikap ini juga diambil oleh Abdullah bin Amr bin Ash. Walaupun ayahnya memihak Mu’awiyah, namun ia memilih untuk bersikap netral terhadap konflik tersebut dan menyibukkan diri dengan belajar dan mengajar. Ia justru berkata: “Rasulullah telah memberiku amanah untuk tidak menaruh pedang di leher orang Islam untuk selama-lamanya.”

Usamah bin Zaid juga menolak ikut terlibat dalam perang Jamal. Ia memiliki alasan serupa dengan Abdullah bin Amr bin Ash, yaitu tidak mau membunuh orang Islam. Dulu, Rasulullah pernah memarahi Usamah bin Zaid karena telah membunuh orang yang telah bersyahadat dalam perang di daerah Huraqah (Kisah lengkapnya dapat dilihat dalam Shahih Al-Bukhari: 4269 dan Muslim: 96).

Baca juga: Jangan Menilai Hati Orang Lain, Itu Urusan Allah!

Sahabat lain yang menolak untuk ikut perang Jamal adalah Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu. Ia menilai bahwa perang tersebut bukanlah Jihad fi Sabilillah.

عن ابن سيرين قال : قيل لسعد بن أبي وقاص : ألا تقاتل فإنك من أهل الشورى وأنت أحق بهذا الأمر من غيرك ؟ قال : لا أقاتل حتى يأتوني بسيف له عينان ولسان وشفتان يعرف الكافر من المؤمن قد جاهدت وأنا أعرف الجهاد ولا أنجع بنفسي إن كان رجلا خير مني . ( هذا حديث صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه )

Dari Ibnu Sirin, ia berkata bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu: “Mengapa Anda tidak ikut berperang padahal Anda adalah anggota majelis syura, tentu Anda lebih berhak untuk berperang daripada siapa pun?”

Sa’ad menjawab: “Aku tidak akan berperang hingga aku diberi pedang yang memiliki lidah, dua bibir dan dua mata, sehingga dengan pedang itu aku bisa mengetahui siapa yang kafir dan siapa yang mukmin. Sesungguhnya aku pernah berjihad dan aku juga tahu apa itu jihad. Aku juga tidak akan menonjolkan diriku jika ada orang yang lebih baik dariku.”
(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak jilid 4, hlm. 491 No. 8370. Hadits ini shahih berdasarkan kriteria Syaikhan (Al-Bukhari dan Muslim) dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi).

عن الحسين بن خارجة قال : لما كانت الفتنة الأولى أشكلت علي فقلت : اللهم أرني أمرا من أمر الحق أتمسك به قال : فأريت الدنيا والآخرة وبينهما حائط غير طويل وإذا أنا بجائز فقلت : لو تشبثت بهذا الجائز لعلي أهبط إلى قتلى أشجع ليخبروني قال : فهبطت بأرض ذات شجر وإذا أنا بنفر جلوس فقلت : أنتم الشهداء ؟ قالوا : لا نحن الملائكة قلت : فأين الشهداء ؟ قالوا : تقدم إلى الدرجات العلى إلى محمد فتقدمت فإذا أنا بدرجة الله أعلم ما هي في السعة و الحسن فإذا أنا بمحمد و إبراهيم و هو يقول لإبراهيم عليه الصلاة و السلام : استغفر لأمتي فقال له إبراهيم : إنك لا تدري ما أحدثوا بعدك أراقوا دماءهم وقتلوا إمامهم ألا فعلوا كم فعل خليلي سعد قلت : أراني قد أريت أذهب إلى سعد فانظر مع من هو فأكون معه فأتيته فقصصت عليه الرؤيا فما أكثر بها فرحا وقال : قد شقي من لم يكن له إبراهيم خليلا قلت في أي الطائفتين أنت ؟ قال : لست مع واحد منهما قلت : فكيف تأمرني ؟ قال : ألك ماشية ؟ قلت : لا قال : فاشتر ماشية واعتزل فيها حتى تنجلي . هذا حديث صحيح الإسناد و لم يخرجاه .

Dari Husain bin Kharijah, ia berkata bahwa ketika fitnah yang pertama (Perang Jamal) membuat aku bingung, maka aku berdoa kepada Allah, “Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku jalan yang benar untuk menjadi pegangan.” Setelah aku berdoa, aku bermimpi melihat dunia dan akhirat yang hanya dibatasi oleh pembatas (dinding) yang tidak begitu panjang. Ketika aku berada di depan dinding tersebut, aku berkata dalam hati, “Andai aku melompat sekali saja, maka aku akan terperosok dalam korban tewas Bani Asyja’ hingga mereka dapat mengabarkan kepadaku.”

Kemudian aku terjatuh di sebuah dataran yang dipenuhi banyak pepohonan. Tiba-tiba di hadapanku ada beberapa orang yang sedang duduk, dan aku bertanya: “Apakah kalian para syuhada?” Mereka menjawab: “Bukan, kami adalah malaikat.” Aku bertanya, “Lalu di mana para syuhada?” Malaikat menjawab: “Lanjutkanlah langkahmu hingga engkau sampai di suatu tempat yang terhormat dan di sana ada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Aku pun terus berjalan, seketika aku telah berada di tempat yang memiliki kedudukan tinggi serta mulia. Di sana telah ada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, “Mohonkanlah ampunan untuk umatku.”

Nabi Ibrahim berkata, “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka perbuat sepeninggalmu. Mereka telah menumpahkan darah sesama mereka dan membunuh imam (pimpinan) mereka. Padahal sebenarnya mereka tidak perlu melakukan hal itu, seperti yang dicontohkan oleh kekasihku, Sa’ad (bin Abi Waqqash).”

Ternyata aku telah diperlihatkan oleh Allah atas permasalahan yang sedang terjadi. Kemudian (keesokan harinya) aku mencari Sa’ad dan menunggu hingga ia benar-benar sendirian. Setelah kesempatan itu tiba, aku ceritakan mimpiku padanya. Maka tak ada yang paling membuatnya gembira melebihi mimpiku itu. Sa’ad berkata: “Alangkah malang orang-orang yang tidak menjadikan Ibrahim ‘alaihissalam sebagai kekasihnya.”

Aku bertanya kepada Sa’ad, “Engkau berada di pihak siapa (Aisyah atau Ali)?” Sa’ad menjawab, “Aku tidak memihak keduanya.” Aku kembali bertanya, “Apa nasihatmu untukku?”

Sa’ad balik bertanya, “Apakah engkau punya ternak?”, “Tidak,” jawabku. Sa’ad berkata, “Belilah hewan ternak, lalu pergilah mengasingkan diri hingga fitnah ini benar-benar padam.”
(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak jilid 4, hlm. 499 No. 8394. Al-Hakim berkata bahwa sanadnya shahih dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi).

* * *

Demikian uraian mengenai sikap para ulama dan netralitas sahabat Nabi dalam menyikapi fitnah Perang Jamal dan Perang Shiffin yang melibatkan dua kelompok yang sama-sama beriman.

Semoga kita bisa menyikapi peristiwa tersebut dengan benar sebagaimana para ulama Ahlu Sunnah wal-Jama'ah agar tidak terjebak dalam pemikiran kelompok Syi'ah dan Khawarij yang dengan mudahnya melontarkan vonis kafir kepada para sahabat yang mulia.

Allahu A'lam...

Post a Comment

0 Comments